Verba tua aeterna...
Bising kota menggelegar begitu kencang. Genderang mesin truk tentara yang lalu lalang berteriak pekak, memecah gendang telinga bahkan yang tuna rasa sekalipun. Terpojok, dia sedang merokok di dalam oplet—mobil angkutan sederhana dan bobrok, sering dipakai mengangkut apa saja: manusia, sayuran, bahkan hewan. Seperti dia, yang selalu merasa seperti binatang.
Tak ada jadwal dan kenyamanan; oplet hanya menunggu penuh, lalu melaju tanpa tujuan pasti. Dan kini, oplet itu sepi dan membawa dia menuju entah ke mana.
Dia sudah naik dari dua puluh menit yang lalu. Setengah bungkus sigaret karya jari- jemarinya sendiri sudah lumat; mayat-mayat rokoknya tergeletak begitu saja di lantai oplet dan aspal. Melamun dan termenung dalam alunan malam. Dia pandangi segala kegiatan jalanan yang tak pernah membuatnya jenuh.
Seorang anak merengek di depan toko, meminta orang tuanya membelikan makanan. Kemudian seseorang sedang melempar ocehan, namun dibalas dengan kepalan tangan—entah perkara apa.
Dia tak henti memandangi gelap yang menggantung di langit kota ini—bukan sekadar malam, tapi juga bayang-bayang zaman. Kota ini riuh oleh langkah-langkah ragu orang-orang yang menunggu kepastian. Lampu-lampu minyak redup bergantung di warung-warung kayu, sementara suara lontang-lantung sepatu lars bergema dari kejauhan, membawa ketegangan tak kasatmata. Dia merasa asing di tanah yang kini menjadi tempat pelariannya. Duduk terus di bangku oplet yang
lengang, melamun dan memikirkan apa yang akan dilakukan sesampainya di rumah—yang tak berpenghuni kecuali dirinya sendiri, dan tak bertuan karena bukan miliknya. Dalam ombang-ambing bising benak yang sunyi tapi penuh, dia keluarkan pena dan kitab tuturan ocehan.
"17 April '49 - Aku penat. Malam terasa begitu lamban, begitu susah 'tuk dilewati. Namun siang hanya datang sebentar bagai aliran air di sungai. Bagai angin musim panas pula. Sialan sudah, aku maestro kekalahan! Aku komposer malapetaka diriku sendiri. Besok aku akan bertemu Jassin 'tuk serahkan segelintir puisi. Aku rasa sudah bisa terbit. Mungkin."
Tibalah dia di terminal Kampung Melayu. Dia bayar saja setengah ongkos seharusnya. Dia bernegosiasi dengan sopirnya.
"Apa ini?! Kurang setengah perak lagi. Jangan kabur sebelum lunas! Saya sudah bawa kamu sedari Tebet, dan kamu pikir ini bakalan murah?!"
"Sudah, Pak. Saya kasih dua batang rokok saja ya. Ini."
"Rokok apaan ini memang? Jangan sampai ini hanya rumput yang kamu linting."
"Sudahlah, Pak. Ini ganti ongkosnya. Saya hanya punya itu saja. Kalau Bapak tak mau, saya tambah dua batang lagi ya."
"Ya sudah, pergi sana, Bung!"
Usai tawar-menawar, melangkahlah dia dari terminal tanpa tahu mesti ke mana. Dia hanya ingin membaur bersama deru angin malam, seakan pasrah dan meratap langit, berharap suatu pencerahan.
Berjalan dan terus melangkah. Angin malam terus berhembus. Dia menundukkan kepala dan menghitung langkahnya.
"Bung! Kau mau ke mana, Bung?"
Suara memanggil. Mendongak, agak takjub dilihatnya seorang kawan yang dia
kenal.
"Affandi! Sedang apa juga engkau di sini? Bukankah toko penjual cat sudah tutup sedari tadi?"
"Betul. Aku hanya ingin merasakan angin malam. Begitu nikmat terasa. Coba cari suasana untukku sketsakan. Kau? Kau hendak ke mana?"
"Aku ingin menaiki kereta menuju Bivak. Dari Tebet, aku berkelana sendirian. Entah mengapa."
"Oh, baik. Kita samalah, Bung. Kita orang linglung, ada kalanya membaur dengan sisa keramaian kota. Tempat ini memang bukan tempat teduhnya para kaum lemah mental. Semua di sini ditempa untuk kuat. Aku gambar resah itu dalam lukisan, kau lukis itu dalam sajak."
"Ya sudah, Bung. Aku ingin mengejar kereta. Hati-hati, Bung!"
Bertukar senyum mereka dan berpisah menuju arah masing-masing. Dia terus berjalan dan memandangi sepinya Pasar Meester Cornelis sewaktu malam. Dia pandangi para tunawisma yang lelap di bawah rindang pohon. Lalu sampailah dia di Stasiun Meester Cornelis. Dia menunggu sekitar sepuluh menit sambil membaca koran harian. Dia melihat karyanya di situ dan ia diguncang kesal.
"Sialan memang. Aku rasa ini puisi jelekku yang tak sengaja kubawa kemarin kepada Jassin. Tapi mengapa ini malah diberi pujian oleh redakturnya. Aneh sekali memang."
Lalu datanglah kereta menuju Manggarai. Dia segera menaiki dan duduk. Dilanjutkannya lagi melamun dan menyalakan mesin fantasinya. Dia terbayang sebuah pemandangan malam. Yang melukis malam dan romansa liar.
Eureka!
Dengan segera dikeluarkan perkakas tulisnya dan secarik kertas untuk menuliskan ide briliannya.
Biar malam kini lalu,
cinta, tapi mimpi masih ganggu
yang bawa kita bersama sekamar
tinggi seperti gua dan sebisu
stasiun akhir yang dingin
dimalam itu banyak berjejer siur katil-katil Kita terbaring dalam sebuah
yang paling jauh terpencil.
Bisikan kita tidak pacu waktu kita berciuman, aku gembira atas segala tingkahmu, sungguhpun yang lain disisiku dengan mata berisi dendam dan tangan lesu jatuh
melihat dari ranjang.
Apakah dosa, apakah salah kecemasan berlimpah sesal
yang jadikan aku korban
kau lantas lakukan dengan tidak sangsi apa yang tidak bakal aku setuju? dengan lembut kau ceritakan
kau sudah terima orang lain
dan penuh sedih merasa
aku orang ketiga dan lantas jalan
Lekas menggores tinta pada sebidang kertas. Dia bingung untuk menentukan judul.
"Apa ya? Malam Berlalu? Pudar Gelap?"
Terus meratapi langit-langit kereta yang perlahan mendekati Manggarai. Dia bingung menentukan judul. Lalu terpikirkanlah sebuah judul.
Biar Malam Kini Lalu.
Tibalah dirinya di Manggarai—entah sudah larut malam atau dini hari, waktu menjadi kabur di tengah lengangnya stasiun dan redupnya cahaya. Dia lalu berpindah peron mencari kereta menuju Karet. Dia memasuki kereta dan kali ini berdiri. Di dalam kereta, dia terpikirkan lagi besok hari apa yang akan dilakukan.
Namun dia putus saja kawat kebingungannya, dia putuskan besok untuk meminjam buku dan menyerahkan beberapa puisinya kepada Jassin. Dan di saat menunggu sinyal pergi kereta, dia terbayang sebuah pemandangan, terbayang kereta, melaju dan melewati kota-kota. Kemudian dia teringat pada puisi yang pernah dia tuliskan.
Dalam kereta. Hujan menebal jendela
Semarang, Solo..., makin dekat saja Menangkup senja.
Menguak purnama. Caya menyayat mulut dan mata. Menjengking kereta. Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada.
Bangga merasa segala ruang dalam jiwanya. Dia senang telah membuahkan puisi yang amat cakap. Namun dia masih merasa bahwa ini kurang. Dia akan menyuntingnya sesampainya di rumah.
***
Kota ini sedang bangkit dari luka. Perjanjian Renville telah lama gagal. Tentara Belanda masih menyisakan bayang-bayang ancaman, meski ibukota telah resmi
pindah ke Yogyakarta. Jakarta tak lagi menjadi pusat republik, tapi denyutnya tak padam. Warga hidup dalam kekurangan. Tentara-tentara berkeliaran. Aktivitas pasar dan stasiun tetap berlangsung, namun suasana selalu dibayang-bayangi rasa cemas dan letih.
Di tengah kekacauan itu, para seniman tetap hidup dan berkarya. Mereka menjadi pelipur lara dan suara-suara alternatif di tengah bayang kekuasaan dan ketidakpastian. Tak seperti hari ini, mereka tidak tampil di panggung terang atau studio mewah. Mereka berkarya di warung kopi yang nyalanya temaram, di sela bising pasar, atau dalam keheningan kamar sempit berlampu minyak. Seperti dia— yang menolak tunduk pada arus, menulis untuk dirinya, menulis untuk zaman.
Tibalah sudah di Karet. Dia berjalan dari stasiun menuju rumahnya. Dia membeli beberapa batang rokok dan membakarnya sembari melihat langit dan daerah sekitarnya. Kali ini dia merasa sebuah perasaan janggal. Dia sudah lama merasa sangat cemas akan sesuatu. Dia merasakan itu amat pedih. Perih. Namun dia singkirkan saja dan memasuki rumah.
Lekas seharian berkelana, dia berganti pakaian dan mandi. Pukul satu pagi, dia lanjut menyunting puisinya. Namun dia bingung apa yang perlu diganti. Dia lalu mengambil buku. Dia diberi buku dari Balai Pustaka, sebuah novel dari Armijn Pane. Dia menuju beranda dan membaca. Dirasa kurang menarik membaca karya orang lain. Dia mengambil buku catatan puisinya. Dibaca dirinya sajak-sajak kemarin- kemarin dan mengulas kembali. Dia merasa bahwa apa yang telah dibuatnya itu kurang. Dan menyesal bahwa dia tak pernah bisa membuat sesuatu yang sempurna. Dibacalah oleh dirinya.
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi hanya tangan yang bergerak lantang.
tubuhku diam sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku.
Terlintas dalam benaknya segala macam pikiran. Ia berpikir
Terlintas dalam benaknya segala macam pikiran. Dia berpikir:
"Takkan ada yang baca dan mengerti apa yang aku maksud di sini. Aku itu ceruk sendiri, berbeda dari kerumunan. Namun, aku berkisar di antara mereka."
Namun, beberapa saat kemudian, dadanya terasa sesak. Batuk tak henti, hingga ia menjatuhkan bukunya ke lantai.
Dia mencoba berdiri, berjalan pelan ke arah pintu depan. Langkahnya gontai, tangannya meraba-raba dinding mencari pegangan. Ia berniat keluar, hendak meminta pertolongan. Tapi sebelum sempat membuka pintu, batuknya memuncak—semburat darah memuncrat dari mulutnya. Tubuhnya oleng. Dia tersandar di ambang pintu, lalu jatuh perlahan. Tatapannya hampa saat sakit memadat. Terpejam matanya, tak sadarkan diri.
Cahaya matahari menyeruak. Mulai menyerang wajah-wajah di kamar rawat. Ada yang terbalut perban, ada yang berpipi cekung, ada yang terbujur lemas. Ruangan berisikan manusia-manusia yang terdera.
Terbuka matanya. Tubuh terasa lemas tak berdaya. Di pinggir kasur tampak seorang kawan sedang membaca koran, dan kemudian terlihat senang ketika melihatnya terbangun.
"Jassin, sedang apa kau di sini? Tahu dari mana aku di sini?"
"Ada yang beri kabar. Mereka bilang engkau tumbang di beranda rumah dan beruntung mereka beriringan membawamu menuju Kramat ini. Aku bergegas saja ke sini."
"Aku baru saja terpikir bahwa esok hari aku akan ke rumahmu meminjam bukumu dan serahkan beberapa puisiku. Namun Jassin, aku ingin bercerita padamu."
"Apa, Ril? Apa yang kau rasa saat ini?"
"Aku merasa sebuah perasaan yang amat berat. Membelenggu diriku beberapa bulan dan sudah lama lah tak kutahu pasti dari kapan. Aku rasa bahwa ada sebuah panggilan. Entah dari siapa. Mungkin aku sedang ditegur dan dihukum atas kelakuan liarku di sini. Aku mungkin akan menjadi dedaunan cemara yang perlahan jatuh dan tertembus angin. Hingga bayangku sirna bersama alam."
"Amat puitis, Ril! Aku paham engkau merasa janggal namun kita ini siapa untuk menentukan dan mengetahui pasti kepergian kita? Firasatmu itu bisa jadi salah saja."
"Sudahlah, Jassin. Aku ini merasa pantas dihukum dan pergi. Aku merasa panggilan yang teramat kuat. Dan aku tak mau menunda atau menyingkirkan perasaan ini. Oh iya, pinjam pena dan kertas. Sewaktu bila aku ingin menulis."
"Baiklah, Ril. Aku tak bisa mendiktekan pencerahanku bila gelap sedang membayangimu. Aku akan beritahukan ibumu bahwa engkau masuk rumah sakit dan sebaiknya pulang ke Medan mencari pengobatan. Aku pulang dulu, Ril."
Pergi sudah kawan karibnya lalu memudar dari pandangnya. Dan dia merasa bahwa kali ini yang dia tuliskan menjadi hal terakhir sebelum dia pergi. Dia merasa dia 'menerima segala tiba' seperti neneknya. Lalu dituangkanlah wasiatnya.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan Sudah berapa waktu bukan kanak lagi Tapi dulu memang ada suatu bahan Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Lekas menulis. Dia terbayang. Dia melihat segala macam muka gadis yang pernah dia gemari. Terbayang pula bagaimana dia akan melihat anak gadisnya tumbuh besar dan dia tersenyum sembari air mata jatuh perlahan. Dia lalu terbayang dirinya di padang rumput yang luas. Mentari berpijar begitu cerah dan dia membakar waktu larut dalam gelak tawa.
Tiba-tiba dia terbatuk dan memanggil suster. Dia batuk tak henti dan mengeluhkan dadanya sempit dan bagian perutnya terasa kejang. Dia terus melawan sakit yang meradang dan menerjang. Kemudian akhirnya dia berhenti, terbaring lemas. Detak jantungnya melemah. Deru nafasnya tersengal-sengal. Segala perawat berusaha sebaik mungkin. Digenggamlah tangan suster, lalu berkata:
"Engkau teramat cantik, begitu indah. Dan kau berada di titik penghabisan. Kau indah bagai bumi pertiwi Nusantara."
Lalu dia menyambung dan berkata,
"Tolong panggilkan Jassin ke sini, segera!."
Beberapa saat kemudian, Jassin tiba.
"Ril, bertahanlah bersamaku. Bersama kita. Engkau akan abadi seperti tuturanmu."
"Tidak, Jassin. Karet menungguku. Aku dipanggil. Aku akan segera bertemu diri- Nya."
"Sudah, Ril. Hentikan firasatmu itu. Kita ini siapa untuk menentukan?"
"Jassin, kuserahkan sajak-sajakku padamu. Jangan sampai mereka pudar bersama gelap dan hilang dalam nafas sejarah. Berilah mereka pada penerus peradaban ini. Jassin, aku akan abadi. Aku mau hidup seribu tahun lagi."
Kemudian, perlahan. Dia tertidur. Untuk selamanya.