Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Kuliner >

Mendem Kepayang: Dimakan Mabuk, Dibuang Sayang

Mendem Kepayang: Dimakan Mabuk, Dibuang Sayang

Teks & Foto oleh: Maria Stephanie

Mendem Kepayang: Dimakan Mabuk, Dibuang Sayang

Pernah dengar istilah “mabuk kepayang”? Mungkin tak banyak orang tahu, ternyata kepayang adalah nama sebuah pohon yang biji buahnya banyak diolah di Nusantara sebagai bumbu aneka masakan yang lezat-lezat. Di Jawa, biji buah kepayang disebut kluwek. Sekarang saat kita sudah mudheng ternyata itu kluwek, masih tersisa pertanyaan: apa hubungannya dengan cinta-cintaan?

Semenjak sekolah dasar, saya sudah akrab dipopor dengan citra beras dari Delanggu. Varietasnya pun spesifik, Rojolele disebut pertama, selepasnya IR64 baru disematkan. Saya sendiri belum pernah secara sadar mengonsumsi beras Rojolele meskipun saya selalu punya bayangan tentang aroma, dan kenikmatannya yang meningkat ketika dipadukan dengan tempe goreng hangat dan sambal terasi. Saya dulu juga belum terpikir mengapa beras ini dinamakan Rojolele. Hemat saya, nama itu berasal dari bentuk anatomi gabahnya yang memiliki sungut seperti lele karena orang Jawa zaman dahulu terkadang sesederhana itu menamai segala sesuatu. Perjalanan singkat saya ke Sanggar Rojolele-lah yang mengoreksi imajinasi saya.

Pohon kepayang tumbuh di hutan-hutan tropis Asia Tenggara. Pohon kayu itu tinggi menjulang, berdaun rindang, dan berbuah lebat. Nama Latinnya Pangium edule. Tingginya bisa mencapai 40 meter dengan diameter batang 2,5 meter. Ia tumbuh liar di daerah-daerah berketinggian 1.000 mdpl. Buahnya keras, berkulit coklat gelap seperti buah kelapa tua. Di dalam daging buahnya yang berwarna putih terdapat biji-biji berukuran lumayan besar dan bercangkang keras.

Dalam ingatan kolektif masyarakat Nusantara yang akrab dengan efek buah kepayang, muncullah istilah mabuk kepayang. Buah kepayang secara alami mengandung sianida yang dapat menimbulkan efek mabuk, gontai dan limbung bagi orang yang menghirup atau memakannya.

Hasil olahan kepayang yang menjadi salah satu bumbu rempah yang memberikan cita rasa khas kuliner Toraja. (Foto: Steffi Stephanie.)

Telusur jejak kepayang

Di Bengkulu, di antara sungai Musi dan sungai Sempiang, dalam keasrian kaki bukit Jupi dan bukit Dendan, terdapat kabupaten bernama Kepahiang. Cerita rakyat setempat mengisahkan ingatan kolektif mereka tentang bagaimana istilah mabuk kepayang tercipta.

Menurut tuturan orang-orang tua terdahulu, nama Kepahiang belum ada saat masa kolonial Belanda, tetapi daerah yang ditumbuhi banyak pohon besar ini adalah tempat persinggahan orang-orang yang mau pergi ke Curup atau ke Kabawetan. Di antara pohon-pohon kayu tadi, ada satu yang sangat unik. Sebagian ada yang tumbuh di pinggir-pinggir jalan; sebagian lagi di tepian sungai Musi. Buahnya besar-besar.

Karena banyak dan berjatuhan, orang tergiur untuk mencicip buah tersebut. Namun, setiap orang yang mencoba memakannya pasti mabuk. Jadi, orang-orang mulai berpikir, alangkah sayangnya jika buah yang berlimpah itu tidak dimanfaatkan. Tersebab pohon kayu itu belum ada namanya, nenek moyang mereka menamainya kepahiang. Dalam terma lokal, kepahiang artinya “dimakan mabuk, dibuang sayang”.

Buah kepayang yang banyak tumuh dan tersebar di Indonesia. Berbagai budaya di Indonesia punya caranya sendiri untuk memanfaatkan buah beracun ini. (Foto: Arsip Institusi Pertanian Bogor.)

Masih di kawasan Kepahiang, istilah mabuk kepayang juga dipakai untuk menggambarkan sensasi tubuh akibat mabuk perjalanan. Pasalnya, untuk menuju Kepahiang, orang-orang harus melalui jalur Liku Sembilan. Jalanannya mendaki dan menurun dengan belokan-belokannya yang tajam. Selepas beratnya medan, banyak pengendara menepi di warung pinggir jalan untuk meredakan mabuk perjalanan mereka menuju ke Kepahiang. Sensasi mabuk itu dalam candaan mereka dilekatkan dengan istilah mabuk kepayang.

Asal-usul nama Kepahiang memperlihatkan bagaimana buah kepayang tak hanya meninggalkan efek fisik, tapi juga jejak kultural yang menetap dalam memori kolektif masyarakat. Menariknya, pola yang serupa juga ditemukan di wilayah lain Nusantara, ketika nama pohon kepayang turut melekat pada penamaan tempat yang memiliki hubungan erat dengan keberadaan pohon atau efek buahnya.

Di Sumatra Utara, misalnya, nama kepayang disematkan pada sebuah kampung di tepi Sungai Asahan, di seberang Tanjungbalai. Kawasan ini dahulu merupakan tempat bermukim masyarakat Batak Toba dari Samosir yang membuka lahan pertanian baru. Menurut kisah setempat, seorang alim menancapkan tongkatnya yang kemudian tumbuh menjadi pohon kepayang, pohon yang buahnya memabukkan jika dimakan. Kampung itu pun kemudian dikenal sebagai Sei Kepayang.

Di Jawa, pohon kepayang dikenal dengan sebutan picung atau pucung (biji buahnya disebut kluwek). Setidaknya di Malang, namanya dipinjam untuk menyebut sebuah desa bernama Sumber Pucung. Sebelum menjadi daerah hunian, kawasan ini masih berupa sumber air yang dikelilingi hutan lebat. Persis di atas lokasi sumber air tersebut, tumbuhlah sebatang pohon pucung. Banyak pendatang bermukim di tempat itu, termasuk para pelarian dari Kerajaan Mataram yang bermigrasi ke Jawa Timur melalui jalur selatan.

Salah satu pengolahan kepayang adalah sebagai bumbu rempah. Di Toraja khususnya, olahan ini disebut dengan pantollo pamarrasan. (Foto: Steffie Stephanie.)

Alih-alih dibuang atau tidak diacuhkan, buah memabukkan ini lebih sering digunakan untuk berbagai keperluan menyintas. Bukti ilmu titen–meminjam terma Jawa–dan inovasi leluhur Nusantara yang tidak pandai menyia-nyiakan alam. Oleh suku Dayak, racun buah kepayang dioleskan pada mata panah atau tombak untuk berburu. Sementara oleh nelayan Melayu dan Banten, daun dan cacahan biji kluwek dibawa melaut untuk mengawetkan ikan-ikan hasil tangkapan mereka.

Keplék ilat “mabuk kepayang”

Di antero Indonesia, masyarakat yang menggunakan kepayang sebagai bahan pangan, sudah menemukan berbagai siasat dan teknik untuk menghilangkan zat racun ini, menghasilkan beberapa karya cipta kuliner Nusantara yang kaya cita rasa. Terlalu sayang untuk diabaikan, terutama bagi mereka yang gemar mengalami Nusantara lewat kegiatan keplék ilat atau memanjakan lidah.

Di dapur-dapur masyarakat Toraja, kepayang disulap menjadi berbagai hidangan khas yang sehat dan lezat. Oleh mereka, daging buah kepayang diiris tipis lalu dijemur sampai kering. Daging buah yang sudah dikeringkan ini disebut pangi. Biasanya, pangi direndam dengan air sampai mengembang, lalu direbus sampai empuk sebelum diolah lebih lanjut menjadi hidangan sayuran.

Uniknya, tidak hanya daging buahnya saja yang dikonsumsi di Toraja. Daging biji kluwek juga dimanfaatkan, dengan proses yang kurang lebih sama. Setelah dikeluarkan dari cangkangnya, daging biji kluwek dijemur di bawah sinar matahari sampai benar-benar kering dan berubah warna menjadi hitam, lalu ditumbuk menjadi bubuk kasar. Dalam bahasa lokal, bubuk kluwek ini disebut pamarrasan. Seperti kluwek di Jawa, pamarrasan juga digunakan sebagai bumbu masak.

Ragam kuliner khas Toraja yang diolah dari kepayang. (Foto: Steffie Stephanie.)

Biasanya, pamarrasan diolah menjadi pantollo pamarrasan, hidangan khas Toraja yang mirip rawon, tapi kuahnya lebih legam. Rasanya juga lumayan mirip: gurih, ada aroma daun jeruk dan serainya. Jenis protein yang lazim digunakan adalah daging babi, belut sawah, ikan bolu/bandeng, ikan mas, dan kerbau (untuk hajat-hajat tertentu). Pangi juga bisa ditambahkan ke dalam masakan ini, tapi biasanya hanya di acara tertentu, bukan untuk makanan sehari-hari. Pangi sendiri memiliki rasa yang cenderung tawar, dan teksturnya mirip rebung ketika sudah matang.

Sementara itu, masyarakat Betawi juga mengembangkan kekhasan kulinernya sendiri yang juga menggunakan pucung (sebutan untuk kepayang dalam tradisi Betawi) sebagai bumbu dasarnya. Namanya gabus pucung; kombinasi ikan gabus dan bumbu pucung. Hidangan ini memiliki akar historis yang panjang, bila tidak terlacak sejak zaman pendudukan Belanda yang membelah kawasan Betawi menjadi Betawi Tengah (elit) dan Betawi Pinggiran. Sebagai opsi sumber protein yang murah meriah, masyarakat Betawi Pinggiran banyak mengonsumsi ikan gabus yang mudah didapat sebab banyak hidup di kolam-kolam, sungai, dan lahan basah.

Penggunaan pucung oleh masyarakat Betawi sebagai bumbu masak pada saat itu juga sangat populer. Dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara – Sejarah Makanan Indonesia, Fadly Rahman mencatat perdagangan impor biji pucung dari Banten ke Betawi pada kurun 1774-1777 mencapai 300 ribu buah. Untuk menghidangkan gabus pucung, ikan gabus yang sudah digoreng direndam atau dimasak kembali dalam kuah hitam kental yang terbuat dari pucung dan bumbu dapur lain. Sayangnya, warisan kuliner yang menggugah selera ini sudah sangat sulit ditemukan akibat perubahan lingkungan yang menggusur habitat ikan kaya protein ini.

Sepiring pentollo pamarrasan. (Foto: SPEKTAKEL/Steffi Stephanie.)

Ada lagi paling tidak satu hidangan lain yang berbumbu dasar kluwek dan sangat populer, yaitu rawon. Siapa yang tidak kenal? Olahan dapur khas Jawa Timur ini menghadirkan daging sapi, tauge, telur asin, kerupuk udang, dan taburan bawang goreng dalam kuah berwarna hitam yang berasal dari kluwek. Hidangan yang sudah dikenal sejak zaman Jawa Kuno ini disinyalir merupakan santapan kalangan istana sebab menggunakan daging, bahan makanan mahal yang umumnya hanya bisa dibeli oleh para bangsawan. Namanya tercatat dalam kitab Kakawin Bhomokaya yang ditulis oleh Mpu Panuluh dari Kerajaan Kediri (1041-1222) sebagai rarawwan. Sementara resep rawon pertama yang tercatat ditemukan dalam Serat Wulangan Olah-Olah Warna-Warni, kumpulan resep Keraton Mangkunegaran Surakarta yang dicetak pada tahun 1926.

***

Barangkali dari sinilah istilah “mabuk kepayang” mendapatkan makna metaforisnya. Seperti racun dalam buah kepayang yang membuat tubuh limbung namun tetap dicari, asmara pun demikian: memabukkan, sering tak masuk akal, tapi tak juga bisa ditolak. Dibuang sayang, disimpan bisa bikin gila. Dalam masyarakat yang pandai bersiasat, kepayang yang berbahaya tidak dibuang begitu saja, melainkan diolah menjadi kekayaan rasa. Seperti cinta, ia diolah dengan kesabaran dan kecermatan hingga menghadirkan kehangatan, kenikmatan, dan makna. Dari dapur Toraja hingga warung Betawi, kepayang menjadi pengingat bahwa dalam rasa yang pahit pun, selalu ada potensi untuk menjadi sumber kenikmatan. Dan bahwa cinta, seperti masakan leluhur kita, tak selalu manis, tapi justru di situlah daya pikatnya.