Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Tradisi >

Nyai Hawo dan Lapik Terakhir: Menyusuri Jejak Anyaman di Muaro Jambi

Nyai Hawo dan Lapik Terakhir: Menyusuri Jejak Anyaman di Muaro Jambi

Teks & Foto oleh: Surini Widyawati

Nyai Hawo dan Lapik Terakhir: Menyusuri Jejak Anyaman di Muaro Jambi

Di balik megahnya reruntuhan Candi Muaro Jambi, tersimpan warisan yang tak terbuat dari batu bata: anyaman-anyaman halus dari daun pandan dan rumbai yang ditenun oleh tangan-tangan tua. Di tengah perubahan zaman, seorang perempuan sepuh bernama Nyai Hawo tetap setia pada anyamannya: sebuah pengetahuan turun-temurun yang perlahan nyaris punah, namun masih hidup di antara tikar-tikar, tudung kepala, dan lagu-lagu lama yang ia dendangkan di teras rumah panggungnya.

Candi Muaro Jambi adalah cagar budaya pertama yang saya kunjungi setelah menjadi mahasiswa arkeologi. Memasukinya seperti membuka pintu menuju masa silam yang hidup. Sebagai seorang peneliti, saya tidak datang hanya untuk mengamati tinggalan bangunan batu bata megah di kawasan yang masih sangat rimbun itu. Perlahan, saya mulai menyadari, kehidupan di sekitar situs itu menyimpan warisan yang jauh lebih dalam daripada yang nampak di permukaan.

Kawasan Percandian Muaro Jambi ini bukan sekadar situs, melainkan ruang hidup. Luasnya 3.981 hektar, membentang di tepi Sungai Batanghari, dan meliputi delapan desa yang saling terhubung: Danau Lamo, Muaro Jambi, Baru, Tebat Patah, Kemingking Luar dan Dalam, Dusun Mudo, serta Teluk Jambu. Semula, saya hanya melihat luasan itu sebagai barisan angka saja. Tapi semakin sering saya menginjakkan kaki di sini, semakin terasa bahwa setiap jengkal tanah ini menyimpan sisa-sisa peradaban besar: dari sisa vihara, stupa, hingga reruntuhan bangunan yang jadi saksi perkembangan pendidikan Buddha di Asia Tenggara di abad 7-13 Masehi.

Namun, yang tak kalah memikat adalah kehidupan yang berlangsung di sekitar situs. Kanal-kanal kuno yang dulu digunakan sebagai jalur air dan transportasi, kini dikelilingi vegetasi liar, dan di antara tumbuhan yang tumbuh subur itu, saya menemukan pandan dan rumbai. Dua tumbuhan ini menarik perhatian saya bukan karena keunikannya saja, tetapi karena cerita yang disisipkan oleh masyarakat setempat: daun-daun ini bisa dianyam, katanya.

Daun padan dan rumbai yang banyak tumbuh di sekitar wilayah Candi Muara Jambi digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahan baku anyaman tradisional dari masa ke masa. (Foto: Spektakel/Surini Widyawati)

Rasa ingin tahu saya makin kuat. Siapa yang masih bisa menganyam daun-daun ini? Apakah masih ada yang menyimpan pengetahuan tentangnya? Maka saya mulai menelusuri desa demi desa, ditemani seorang pemuda lokal yang mengenal banyak orang tua di kawasan ini. Ia lalu membawa saya ke rumah panggung sederhana yang asri. Di halaman rumah itu tumbuh rimbun tanaman toga, menandakan bahwa penghuni rumah ini tak sekadar hidup dari alam, tapi juga merawatnya.

Di teras rumah itu, seorang perempuan lansia sedang duduk dengan setumpuk daun kering di pangkuannya. Ia menjalin daun-daun itu perlahan, namun pasti—seolah jemarinya tahu arah tanpa perlu berpikir. “Itulah Nyai Hawo,” kata pendamping saya. Warga mengenalnya sebagai maestro anyaman dari Desa Muaro Jambi.

Jemari pengikat zaman

Kami menaiki tangga rumah panggung itu. Nyai menyambut dengan senyum hangat dan suara lembut yang membuat kami langsung merasa diterima. Kami menyampaikan rasa penasaran kami tentang tentang anyaman, dan Nyai pun mengajak kami duduk di lantai kayu yang beralaskan tikar buatannya sendiri.

Rumah itu lebih dari sekadar tempat tinggal. Ia adalah studio, ruang kerja, sekaligus galeri hidup. Di sudut ruangan tampak gulungan daun pandan dan rumbai yang telah dikeringkan. Dinding rumah dipenuhi anyaman yang tergantung. Sebagian belum selesai, sebagian sudah siap digunakan. Lantai rumahnya bahkan dipenuhi helai-helai daun kering, pertanda betapa sibuknya Nyai dengan pekerjaan yang bagi sebagian orang mungkin sudah dianggap kuno.

Nyai Hawo, satu dari sedikit sekali pengrajin anyaman pandan dan rumbai yang tersisa di desa sekitar Candi Muara Jambi. (Foto: Spektakel/Surini Widyawati)

Nyai mulai menganyam sejak kecil. Ia belajar dengan cara memperhatikan ibunya. Dalam keluarganya, menganyam bukan sekadar keterampilan, tapi warisan. Ia kini menjadi generasi kedua, dan barangkali satu-satunya yang masih menekuni kerajinan ini sebagai mata pencaharian.

Bahan dasar anyamannya adalah daun pandan dan rumbai, tumbuhan yang dulunya tumbuh melimpah di sekitar kanal. Pandan duri (Pandanus tectorius) dengan akar penyangga yang kuat dan batang berduri, serta rumbai (Scirpodendron ghaeri) atau pandan air yang termasuk ke dalam suku teki-tekian. Menurut Nyai, keduanya berbeda meski terlihat serupa. Daun rumbai lebih halus, mengkilap, dan liat. Daun pandan lebih putih tapi lebih mudah patah. Dalam praktiknya, ia sering mengombinasikan keduanya agar hasil anyaman kuat sekaligus lentur.

Dahulu Nyai memetik sendiri daun-daun itu, tetapi kini ia harus dibantu orang lain karena usianya. Daun yang dipilih harus muda dan panjang. Setelah dipetik, daun dijemur dua hari di bawah terik matahari. Bila lebih dari dua hari, daun akan berubah warna menjadi kemerahan. Pengeringan yang tepat akan menghasilkan warna putih gading yang cantik. Setelah kering, daun diserut dengan alat bambu agar lentur, lalu dibelah menggunakan “jangko”, alat sederhana dari kayu dan pisau kater.

Untuk pewarnaan, Nyai memanfaatkan bahan alami seperti kulit samak dan pandan. Pewarna tekstil juga digunakan, tapi ia tetap menjaga prosesnya agar tidak merusak serat daun. Prosesnya panjang dan melelahkan, tapi Nyai melakukannya dengan sabar. Ia bahkan bisa menganyam dengan mata tertutup, sesuatu yang tak bisa diajarkan, hanya bisa diwariskan.

Jenis anyaman Nyai beragam: dari tikar lapik, tudung saji, hingga kembut (tempat cacokotan yang diisi dengan jimat-jimat seperti cakar sinde, jadam, dan ingu). Ia juga membuat wadah panen seperti teruntung dan jangken, serta tudung kepala yang disebut terendak. Namun dari semua karyanya, yang paling istimewa adalah lapik primping.

Anyaman terakhir?

Lapik primping adalah tikar istimewa yang digunakan sebagai alas tidur bayi, dengan kain kesumbo berwarna merah dan biru dijahit di pinggirannya. Warna biru melambangkan nilai-nilai Islam, sedangkan merah melambangkan keberanian yang benar. Biasanya, digunakan lima sampai tujuh lapis tikar dengan ukuran yang makin kecil ke atas. Tikar terbawah berbahan pandan karena kuat, sementara lapisan atas memakai rumbai karena lebih halus dan hangat.

Daun pandan dan rumbai yang sudah dikeringkan, siap untuk diolah menjadi ragam bentuk anyaman. (Foto: Spektakel/Surini Widyawati)

Lapik juga digunakan sebagai alas duduk akad nikah (disebut lapik bontak), serta sebagai alas jenazah dalam upacara kematian. Dengan kata lain, dari lahir hingga wafat, masyarakat Muaro Jambi dulu hidup bersama lapik. Tapi sekarang, penggunaannya semakin langka.

Bahan baku semakin sulit ditemukan. Kanal-kanal kuno kini berubah menjadi lahan sawah. Rumbai hanya bisa ditemukan di beberapa lokasi seperti Payau Terjun Gajah dan Payau Rengas Bolong, itu pun sudah tidak seluas dulu. Desa Sekumbung dan Desa Rukam kini menjadi tempat untuk membeli bahan rumbai karena desa Nyai sendiri sudah jarang menumbuhkannya. Kepadatan permukiman dan perubahan pola hidup menjauhkan masyarakat dari tradisi.

Yang lebih menyedihkan, generasi muda tak lagi diajari menganyam. Dulu, anak perempuan harus bisa menganyam sebelum menikah, karena anyaman adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kini, pengetahuan itu nyaris hilang. Hanya beberapa nama yang masih diingat warga: Nyai Hawo, Nyai Gandu, Ayuk Sam Sapur. Tapi hanya Nyai Hawo yang masih aktif menganyam, masih menjadikannya sumber penghidupan.

Permintaan pun semakin jarang. Harga jual anyaman yang tinggi tidak sebanding dengan daya beli masyarakat. Masyarakat pun lebih memilih perlengkapan modern. Tradisi menghilang bukan hanya karena bahan dan keterampilan memudar, tapi karena fungsinya tak lagi relevan dalam hidup keseharian orang sekarang.

Salah satu tikar lapik hasil anyaman Nyai Hawo. (Foto: Spektakel/Surini Widyawati)

Sore itu, saat kami pamit, Nyai mengambil sebuah terendak (tudung kepala) hasil anyamannya dan memakainya. Ia lalu menyanyikan lagu lama berjudul Terendak, suaranya pelan tapi mantap, mengalun seperti mantra yang mengikat kenangan. Di mataku, Nyai bukan sekadar pengrajin. Ia adalah penjaga ingatan, pengikat zaman.

Dan ketika suara Nyai perlahan tenggelam dalam senja Muaro Jambi, saya sadar: mungkin kelak anyaman-anyaman itu akan rapuh dan hilang, tapi kisahnya tidak boleh ikut hilang. Selama masih ada yang mencatat, selama masih ada yang mendengar.