Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Chaotic Order Pasar Tradisional, Sebuah Monumen yang Hidup

Chaotic Order Pasar Tradisional, Sebuah Monumen yang Hidup

Teks & Foto oleh: Ignasius Satrio Krissuseno

Chaotic Order Pasar Tradisional, Sebuah Monumen yang Hidup

“Menarik menurutku datang ke pasar satu dan yang lain. Bagaimana perhatian pemerintah terhadap satu kota, salah satunya bisa kita lihat dari pasarnya.” – Tiead alias Jagad Sayur (penyuplai sayur, pendiri Sumber Pangan Jaya)

Pada suatu sesi membuka YouTube, saya mampir di sebuah video menggelitik berjudul “Ethnobotany of a Tropical Fruit Market” (Etnobotani Pasar Buah Tropis). Akun yang mengunggah video tersebut memiliki nama yang cukup unik pula, “Crime Pays but Botany Doesn’t”. Dalam video berdurasi 8.24 menit itu seorang botanis merekam perjalanannya memutari sebuah pasar tradisional di suatu tempat di Amerika Latin bernama Puyo, Ekuador. Ia berbicara dari belakang kamera, membedah ragam tanaman pangan beserta olahan yang terhimpun di sana. 

Yang unik, dari mengamati bagaimana para pedagang di video menjual serta mengolah hasil bumi beserta ragam barang yang dijual saja, imajinasi saya jadi terpantik untuk membayangkan kehidupan di tempat tersebut; bagaimana perkebunan dan lahan-lahan produktif di sana; iklimnya; berikut warna rasa masakan yang ada. 

Menikmati video tersebut semacam jadi pengingat, bahwa pasar dapat menjadi sebuah keping kliping ensiklopedia untuk mengenal sebuah tempat. Ia hadir sebagai cerminan sebuah tempat. Ruang yang didefinisikan oleh pengisinya, menjilid flora-fauna dan tata sosial suatu tempat untuk dibaca; dengan semua indera yang bisa menangkap.

Lapak Nanas milik Pak Mujianto, salah satu pedagang yang telah lama menjadi bagian dari jalinan Pasar Legi Solo. (Foto: Spektakel/Ignasius Satrio Krissuseno)

Di kesempatan lain, saya berkesempatan untuk live-in di markas kerja Sumber Pangan Jaya. Sebuah perusahaan suplier bahan pangan yang dijalankan sekumpulan mas-mas di Solo, dipimpin oleh Mas Tiead. Usaha ini dimulai dari rangkaian upaya ‘penaklukan pasar’ di area Solo Raya dan sekitarnya. Menjadikan mereka sebuah armada tukang sayur, perpanjangan tangan dari pasar-pasar di sekitar. 

“Yang kulakukan di awal adalah survey pasar. Enggak susah-susah amat, tapi memang harus ke pasar subuh.” ujar Mas Tiead. Pertemuan ini memunculkan cerita-cerita tentang pasar dan jaringannya, yang cukup membekas. Bagaimana ia menjadi tempat yang menghidupi banyak keluarga dan generasi. 

Pasar tradisional, orkestrasi sistem canggih yang terselubung

Hiruk-pikuk pasar, terutama pasar tradisional, mungkin bisa dilihat seperti sebuah sistem yang terselubung kesan berantakan dan serba random, sebuah chaotic order. Setiap harinya, semua orang datang dengan dagangan dan daftar belanjaannya masing-masing.

Rutinitas operasi pasar tim Sumber Pangan Jaya, sebagai perpanjangan tangan para penjual sayur di Pasar Legi Solo. (Foto: Spektakel/Ignasius Satrio Krissuseno)

Orkestrasi kerja Mas Krisna, Mas Yova, dan Bang Ambon, para anggota tim Sumber Pangan Jaya mungkin merupakan salah satu cerminan tatanan yang ‘berantakan’ tersebut. Tangan-tangan mereka dengan cepat memilih bahan pangan yang cocok dengan daftar belanja, disambut para pedagang yang dengan cepat pula menerima pertukaran pertanyaan, lalu memberi kembalian bila perlu. Mereka juga harus langsung cekatan mencari solusi bila tidak ada barang yang sesuai daftar kebutuhan, atau bila ada perubahan harga. “Kan banyak daftar dan titik yang dibelanjain di pasar, jadi gua ngejalanin kerja di sayur ini kaya main nge-game aja sih.” kelakar Bang Ambon.

Baca juga: Sumber Pangan Jaya; Laki-laki Tidak Bercerita, Tapi Jualan Sayur

Dalam setiap temu dan jual-beli barang di pasar, terjadi pertukaran daya hidup; entah secara ekonomis atau sosial. Dan mungkin, seperti konsep chaos yang selalu ada di semesta, konsep pasar juga merupakan hal yang selalu menyertai kumpulan–bisa dibaca pula sebagai ‘peradaban’–manusia.

Ada tatanan, ada kekacauan; ada barang, ada pertukaran. Sepertinya sejak kita mulai bercocok-tanam pada kisaran 10,000 tahun yang lalu, semakin butuh pula kita untuk berpasar-pasaran; bertukar hasil ladang dan ragam olahannya. Di sanalah salah satu pilar peradaban bersandar, dalam jalinan manusia yang membaur dalam kebutuhan-kebutuhan domestiknya.

Para penjual sayur di Pasar Induk Kramatjati yang melayani puluhan transaksi dalam satu malam dengan bermodalkan sistem manual. (Foto: Spektakel/Shuliya Ratanavara)

Jalinan-jalinan manusia di pasar ini jika ditelisik dengan lebih teliti sebetulnya membangun sebuah sistem yang mungkin akan sulit direplikasi oleh algortima paling mutakhir sekalipun. Bayangkan di pasar-pasar induk seperti Pasar Legi Solo yang saya datangi atau Pasar Induk Kramatjati di Jakarta, setiap harinya terjadi perputaran uang dan barang yang begitu besarnya. Entah berapa ton hasil panen yang turun di pasar setiap malam dan ludes di waktu subuh. Pun entah berapa ratus juta rupiah yang sekiranya berputar di lapak-lapak pasar induk setiap malamnya.

Mengelola skala transaksi sebesar ini, jika dibayangkan dengan perspektif urban yang serba mekanik pastilah melibatkan sistem inventory dan point of sales (PoS) yang sarat automasi dan serba terintegrasi. Sulit membayangkan skala transaksi ini dengan sistem manual yang dipraktikkan sehari-hari di pasar-pasar tradisional.

Bermodalkan catatan di kertas bekas boks rokok atau nota sederhana, informasi tentang pesanan hingga verifikasi pembayaran dan pengambilan barang terjadi dengan mulus di antara penjual, pembeli, dan kuli angkut. Melihat proses ini, saya melihat jangan-jangan nilai tukar sesungguhnya dalam mekanisme ini adalah rasa percaya yang tercipta dari jalinan interaksi manusia yang sudah berlangsung sejak entah kapan.

Tradisional, Bukan Terbelakang

Sedihnya, terkadang kata tradisional memiliki selubung makna derogatori/menjatuhkan. Malah hampir bersinonim dengan ‘terbelakang’ dan harus ‘dibantu maju agar rapi dan modern’. Padahal, di satu sisi, mungkin kata tradisional dapat pula kita artikan sebagai sifat yang sudah lama tumbuh mengakar di sebuah tempat. 

Salah satu pelanggan di Pasar Legi Solo, biasanya pelanggan eceran baru mulai mendatangi pasar selepas subuh. (Foto: Spektakel/Ignasius Satrio Krissuseno)

Bahkan, mungkin yang disebut dengan pasar modern seperti swalayan, supermarket, dan mall tidak dapat berdiri lepas dari kehadiran pasar tradisional juga. Dari pengalaman menitip mata di Sumber Pangan Jaya, saya dapat ikut perjalanan mereka menyetor ke tempat-tempat yang kerap disebut ‘pasar modern’ tersebut.

Jadi tahu, bahwa walau terlihat menjual produk global, dengan bentuk konstruksi yang terstandarisasi, waralaba supermarket ternyata tetap berbagi suplai dengan pasar tradisional juga. Melon di rak-rak sana sebelumnya pernah mampir di parkiran Pasar Gede Solo, dari subuh sampai pagi. Lalu dibeli dan diantar oleh tim distributor seperti Sumber Pangan Jaya. Begitu pula restoran-restoran makanan barat di mall-mall Solo, mengandalkan suplai sayur yang dibawakan dari Pasar Getasan, dekat Kopeng, Jawa Tengah. Sampai di sana setelah menembus jalan-jalan arteri Solo, diantar naik motor roda tiga Sumber Pangan Jaya. 

Bila dicermati secara seksama, mungkin chaotic order pasar dapat dilihat sebagai sifat cukup universal dan saling terhubung. Berkunjung ke pasar tradisional mungkin akan membuat kita memikirkan ulang tentang struktur-struktur dan sistem modern yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Atau jangan-jangan membuat kita mempertanyakan kembali apa itu modernitas dan apa itu tradisi. Apalagi ketika kita melihat betapa sistem-sistem tradisional memiliki kompleksitas yang mengakomodasi manusia-manusia yang menghidupinya. Ia memberikan ruang pada nuansa interaksi manusia—dibandingkan dengan sistem-sistem modern yang sering kali terlalu menyederhanakan dan mengikis ruang-ruang rasa itu.

Pasar yang baik

“Kalau dibilang seneng ke pasar, setelah nyemplung di Sumber Pangan Jaya ini ya jadi sering ke pasar. Setiap ke suatu daerah pasti ke pasarnya. Menarik menurutku datang ke pasar satu dan yang lain. Bagaimana perhatian pemerintah terhadap satu kota, salah satunya bisa kita lihat dari pasarnya.” ujar Mas Tiead pada sebuah obrolan.

Pelanggan di Pasar Induk datang dari berbagai latar belakang, kloter pertama biasanya diramaikan oleh para supplier dan distributor lain seperti tukang sayur keliling, kemudian pemilik warung-warung makan, hingga kemudian para pelanggan eceran untuk kebutuhan rumah tangga. (Foto: Spektakel/Ignasius Satrio Krissuseno)

Ia melihat, di Solo saja ada pasar yang cukup terurus dan mendapat revitalisasi bangunan, tapi ada juga pasar di pinggiran yang tidak mendapatkannya. “Seperti di Pasar Siliran, yah, pedagang dan pembelinya beraktivitas secara mandiri; tidak terlihat peran dari pihak terkait.” ujarnya.

Menurutnya ada beberapa poin yang yang bisa diperhatikan perihal pasar jika ingin merawatnya supaya nyaman digunakan bersama. Pertama, aksesibilitas antara pembeli dan penjual, juga akses bagi kuli angkut/kuli gendong. “Aksesnya bersahabat untuk kita semua, enggak nyusahin; enggak harus naik berapa lantai, atau (kalaupun harus tingkat) ada solusi yang memudahkan untuk semua. Saiki kubis aja sak-keranjang nyampe 40-50kg, itu harus (dibawa) naik turun.” ujarnya. Yang kedua, merupakan kebersihan pasar. Dari yang ia lihat di lapangan, kondisi kebersihan pasar bisa cukup parah bila tidak diperhatikan. Pasar Siliran contohnya. “Rata-rata memang berbeda dari supermarket, memang, tapi bisa diperhatikan,” ia melanjutkan. Yang ketiga merupakan fasilitas pendukung, seperti jalan akses utama dan tata air. “Di Pasar Legi saja konbloknya sudah bergelombang di beberapa sisi, dan kalau hujan ngecembeng (menggenang)” 

Terlebih dari hal-hal terkait infrastruktur, ia juga merasa bahwa ada jalinan sosial yang tumbuh menyokong pasar; atau secara lebih luas, peran para entitasnya sebagai pondasi distribusi pangan. Bahkan dalam lima tahun sepak-terjangnya di Sumber Pangan Jaya, ia sendiri mengaku belum sepenuhnya lihai menavigasi ranah jalinan tersebut.

Selain transaksi jual-beli bahan pangan, interaksi manusia-manusia serta transaksi nilai di pasar juga menjadi salah satu hal yang mengisi hari-hari di banyak pasar tradisional. (Foto: Spektakel/Ignasius Satrio Krissuseno)

Terdapat relasi kepercayaan/ketergantungan yang terkadang dirasa merugikan antara pengepul/tengkulak dengan petani; juga dengan distributor. “Mau membeli dengan harga yang lebih tinggi ke petani belum tentu dikasih. Mereka biasanya enggak melepas, karena lebih memilih sekalian dibeli semua satu panenan. Sedangkan distributor, walaupun harganya lebih baik, kadang enggak butuh sebanyak itu. Di sisi lain, kalau menjual ke tengkulak, harganya bisa rendah sekali, sampai akhirnya stoknya malah terbuang-buang.” demikian ia menjelaskan sepanjang obrolan kami sembari mengambil sayur.

Hal tersebut terkadang mengurangi efisiensi komunikasi dan distribusi stok. Harga-harga terkadang berpotensi jadi tidak adil bagi petani. “Sebetulnya stok pangan kita cukup, masalahnya di orang-orang kaya aku ini aja, orang-orang distribusi.” ujarnya. 

Atas keresahan tersebut, ia sendiri telah mulai merasakan sebuah panggilan; bagaimana bila elemen-elemen produksi dan distribusi seperti dirinya agar dapat berserikat menjadi ekosistem yang lebih sehat. “Semacam ‘Koperasi Sayur Kota’, kan asyik, ya.” serunya. Menurutnya dalam sistem koperasi, para pengepul juga bisa berperan menjadi sumber daya beli dan manajemen yang baik bila diolah. Namun lagi-lagi mimpi itu masih belum begitu banyak bersambut, dan masih dalam tahap riset; membangun sambil berjalan. “Lha itu, kayaknya juga menarik juga deh nek dipelajari, sejarah tengkulak di Indonesia.” kelakarnya. 

Denyut konstan nadi pasar

Sembari di Solo, saya berkesempatan pula mengunjungi salah satu pasar tempat inkubasi perusahaan penyuplai sayur di Surakarta tersebut. Pasar Legi Surakarta namanya. Dalam sesi menyambangi hiruk-pikuk Pasar Legi, terselip obrolan saya dengan seorang pedagang tauge bernama Mbah Pun.

Mbah Pun salah satu penjual di Pasar Legi Solo sejak tahun 1965. (Foto: Spektakel/Ignasius Satrio Krissuseno)

Simbah berusia 80 tahun ini telah berjualan tauge sejak tahun 1965. Dari subuh sebelum Orde Baru terbit; sampai subuh saat ini. Sembari berjualan, dengan santai ia memilah kacang hijau dari tauge dengan tampah sambil mengobrol. Ia bercerita dengan nada bahagia, tentang hari ke harinya berjualan yang berjalan tanpa libur.

Riyin kula gerobagan niku, Mas. Ditarik sapi. ‘Kluntung, kluntung, kluntung,’ ngeten. (Dulu saya jualannya sejak zaman menggunakan gerobak itu, Mas. Ditarik sapi. ‘Kluntung, kluntung, kluntung,’ bunyinya)”. Sampai saat ini, telinga usia 80 tahunnya yang masih awas bercakap di tengah deru mesin motor, truk, dan mobil bak terbuka yang berlalu-lalang dalam kumandang pasar. Sebuah ruang yang menyenangkan kami bagi di sudut pasar pagi itu.

“Yah, sebetulnya tambah sepi, mas.” seru Pak Mujianto dari sudut lain Pasar Legi. Ia duduk menggelar nanas dan semangka di depan mobil bak terbuka miliknya. Sudah puluhan tahun ia berjualan buah di Pasar Legi, bahkan sebelum bentuk bangunannya seperti yang ada saat ini.

Ia merasa, sepanjang tahun-tahun menjadi bagian dari pasar, posisi pasar dalam rancang kota tidak selalu mendapat tempat yang strategis. Sebelum berjualan di pasar, usaha warung Pak Mujianto terkena gusur untuk jadi pembangunan taman. Lokasi saat ini juga merupakan relokasi dari alur pasar yang dulunya lebih dekat dengan jalan. “Yah dapat gusuran terus, mas. Tapi mau bagaimana lagi.” ujarnya. 

Baca juga: Dini Hari ke Pagi di Pasar Legi

Waktu ke waktu, kejadian ke kejadian, nadi pasar terus berdenyut dan berjalan dengan ritme dan alurnya. Seakan berkata “toh kita masih butuh makan, bagaimanapun keadaannya”. 

Pak Mujianto, penjual nanas di Pasar Legi Solo yang posisinya direkolasi saat Pasar Legi Solo mengalami perombakan. (Foto: Spektakel/Ignasius Satrio Krissuseno).

“Kita mengolah dari temuan ke temuan, harian. Menemukan pola (kerja) itu dari apa yang kita jalani di lapangan. Entah dalam segi emosi atau fisik,” ujar Mas Tiead. Ia bercerita terkadang menjadi hal yang pelik dan menguras emosi juga bila harga berubah di pasar sewaktu-waktu. Baginya dan tim, serta para anggota pasar, chaos yang muncul dari hari ke hari selalu diberi ruang dan cadangan solusi.

Monumen yang hidup

Di ujung pinggir tulisan ini saya terpanggil untuk kembali mencerna cecap rasa pasar (tradisional). Lewat ingatan sesi-sesi dengar, hirup, lihat, merasa, dan hadir saya yang pernah mampir ke sana. Kalau dipikir-pikir, ternyata walau ia dapat dilihat sebagai ikon sebuah tempat, pasar bukan sekedar monumen simbolis yang dingin dan tidak bernafas.

Ia dihidupi setiap hari; dan karena itulah ia dapat mengemban perannya sebagai sebuah penanda. Meminjam kata Mas Tiead, kita bisa melihat kota dari pasarnya. Kota juga bisa melihat dirinya sendiri, dari pasarnya. Bagaimana sumber dayanya bergulir; bagaimana orang-orangnya masih punya api untuk menyiasati hari ke hari. 

Dari yang saya amati, unsur monumen sebuah pasar bahkan tidak selalu terpancang pada suatu tempat. Pasar Godean, misalnya. Pasar tersebut merupakan salah satu pasar jujukan yang berukuran cukup besar dan ramai di dekat rumah saya, di Sleman bagian Barat.

Suasana transaksi jual-beli di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta. (Foto: Spektakel/Shuliya Ratanavara)

Secara lokus, ia kehilangan masa jayanya–paling tidak dari kacamata saya, sebagai penikmat lokal–setelah bangunannya dirobohkan, seluruh pedagangnya direlokasi, lalu direvitalisasi menjadi gedung bertingkat. Dalam rentang tahun 2023-2024 pembangunan revitalisasi pasar tersebut dikebut agar bisa segera diresmikan. Namun pada tahun 2025, setahun setelah diresmikan; saat tulisan ini ditulis, bangunan pasar hasil revitalisasi tersebut masih mangkrak. Sehari-hari tak ada penjual atau pembeli, kosong dan tertutup pagar tinggi. 

Tapi Pasar Godean ya tetap hidup saja di tempat relokasinya. Bahkan per hari ini telah berganti tempat relokasi dua kali. Belum terhitung satu-dua pedagang yang ‘mengungsi’ ke pasar lain atau memilih berjualan di lain tempat. Juga pedagang klithikan (barang bekas) yang pindah ke lapangan parkir stadion dan lahan kosong sebuah pasar, tak jauh dari Pasar Godean. Riuh pedagang klithikan dan unggas tetap berkumandang setiap hari pasaran Pon. Saat saya pulang subuh, dari kejauhan terlihat pula truk-truk sayur membongkar muatnya di lokasi relokasi Pasar Godean. Walau sekarang tercecer, Pasar Godean tetap hidup menjadi pasarnya orang Godean dan sekitar. 

Pagi di pasar tradisional merupakan kombinasi waktu dan tempat yang–menurut saya–selalu sangat menyenangkan. Pasar tradisional mana saja, di hari apa saja; mau yang besar maupun yang kecil. Ada bau kue pukis baru dimasak, sayur dan beras berlalu-lalang, tukang mainan dan koran mangkal.

Itu pun baru sebagian kecil dari deskripsi keseluruhan yang terjadi. Tergabung, semua membentuk sebuah lanskap audio, visual, aroma, dan sensorik lain yang lengkap, menyenangkan untuk didatangi. Saya rasa ada yang lebih dari sekedar keramaian yang terjadi di pasar pagi hari. Dari setiap jual-beli barangnya, terjadi pertukaran daya hidup. Entah akan ada sampai kapan dan di mana, untuk kita dapat terus menikmatinya.