Bicara tentang seni, kita tidak bisa serta-merta mengesampingkan upaya kolektif. Ia ibarat bongkahan arang agar api dapat membara lebih lama lagi. Namun, butuh kacamata lain jika upaya tersebut terjegal hal-hal di luar prediksi. Jawaban itu mungkin telah saya dapatkan saat berkunjung ke Studio Pakaroso milik Rio Simatupang di Bekasi, Jawa Barat.
Dari balik jendela LRT, awan mendung menyelimuti perjalanan saya dari Dukuh Atas menuju Bekasi pada Minggu (12/1) siang. Setengah jam yang nampak biasa-biasa saja, melihat deretan perkantoran yang sepi, dinding-dinding kaca pencakar langit di sekitar Sudirman hingga Pancoran silau memantulkan cahaya matahari, sebelum berganti lanskap jalan tol dengan lalu-lalang kendaraan, hingga akhirnya kereta mulai melambat saat memasuki Stasiun Jatibening Baru. Hanya ada saya dan beberapa penumpang yang turun di sini.
Saya bergegas keluar stasiun, kemudian berjalan menyusuri Jalan Antilope. Di atas sebuah jembatan penyeberangan, anak-anak berderet memenuhinya.. Mereka tengah menunggu bunyi sirine telolet dari setiap bus yang lewat di jalan tol. Tujuan di siang itu hanya satu: berkunjung ke Studio Pakaroso untuk melihat langsung bagaimana sebuah ruang bebas akhirnya dapat dialihfungsikan untuk memfasilitasi orang-orang yang ingin berkarya. Sekitar lima menit berjalan, saya akhirnya tiba di studio tersebut.
Saat orang memilih untuk bersantai di rumahnya sembari menikmati semilir angin Minggu siang, beberapa pemuda di studio itu justru sibuk membuat mural dan grafitidi tembok-tembok luar dan dalam. Tembok-tembok itu perlahan mulai berubah warna. Aroma Pylox dan rokok bercampur dalam satu ruangan; obrolan berujung tawa mewarnai di sela-selanya. Di antara pemuda itu adalah Rio Simatupang, seniman asal Poso yang dikenal dengan nama kanvas Lampurio sekaligus inisiator dari studio ini.
Salah satu seniman tengah mencoba mereka ulang grafitti di Studio Pakaroso. Mereka dibebaskan untuk merespons ruang yang ada di studio tersebut. (FOTO: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)
Membangun ruang kolektif di tepi hutan
Diselingi pisang kepok goreng khas Sulawesi dengan cocolan sambalnya yang khas, obrolan antara saya dan Rio mulai mengalir. Diambil dari bahasa Sulawesi yang berarti “saling menguatkan”, Pakaroso baru difungsikan pada tahun lalu sebagai tempat bagi Rio untuk memaksimalkan proses pembuatan karyanya. “Awalnya memang sebagai tempat untuk workshop seni saya sendiri agar dapat lebih fokus saja dalam berkarya. Namun seiring berjalannya waktu, saya juga membuka kesempatan bagi teman-teman yang membutuhkan ruang untuk berkarya, atau sekadar mampir, terutama mereka yang berasal dari Sulawesi dan sekitarnya,” tuturnya.
Ini bukan kali pertama Rio berinisiatif untuk membuat ruang terbuka bagi para pelaku seni. Pemikirannya tentang kekuatan kolektif muncul jauh sebelum itu, tepatnya pada 2014, saat ia memanfaatkan lahan milik keluarganya tepat di belakang kampus Universitas Tadulako di Palu untuk membuat Rumah Hutan Drupadi (RHD) bersama rekannya, Edianta Ginting, seorang pelukis yang memanfaatkan bubuk kopi sebagai medium karyanya.
Pengalamannya berkenalan dengan ruang kreatif dan kemudian belajar untuk menginisiasi dan mengelolanya ia mulai di Bali. Sempat menetap di sana selama dua tahun setelah kepindahannya dari Jakarta, ia akhirnya memahami betapa pentingnya keberadaan sebuah ruang untuk sekadar mengapresiasi karya satu dengan yang lain dan menumbuhkan gerak kolektif. “Di sana, banyak ruang-ruang seni yang dapat diakses secara bebas dengan bermodal inisiatif, berbeda dengan Palu yang saat itu belum memiliki banyak ruang, baik untuk berkesenian maupun mengapresiasi karya,“ ia melanjutkan.
Gambar Rio, keluarganya, dan juga teman-teman dekatnya yang sering membantunya berproses di Pakaroso. (FOTO: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)
Tentu saja langkah awalnya menantang, apalagi ketika sumber daya yang dipunya tak banyak-banyak amat. Mereka berdua setidaknya butuh waktu beberapa minggu untuk membersihkan rumah beserta halamannya yang cukup luas. Tetangga di sekitarnya terkadang juga turut membantu. Singkat cerita, rumah ini pun selesai direstorasi dan dibuka bagi siapa saja yang ingin melihat proses mereka dalam berkesenian. Ada pula galeri kecil yang kelak dinamakan Galeri KIRI. “KIRI ini sebetulnya singkatan dari Kami Ini Orang Indonesia, namun banyak orang yang memandang lain hanya karena simbol-simbol tertentu,” singkatnya.
Cerita tak sampai di situ saja. Rio ingin tempat itu dapat memberikan lebih banyak manfaat—setidaknya bagi orang-orang yang ia kenal. Berbekal kemampuan jurnalistik yang telah ia pelajari saat masa kuliah, Rio mengunggah segala hal dan kegiatan yang dilakukan di RHD melalui kanal media sosial miliknya. Dari sana, banyak teman semasa kecilnya di Kota Palu yang menyempatkan untuk berkunjung, hingga akhirnya Rio berhasil terhubung lagi dengan teman-temannya dan menjalin kedekatan secara personal setelah pulang merantau.
“Waktu itu, jangankan mengerti tentang istilah digital marketing, citizen journalism, apalagi community development. Kami hanya fokus mengunggah apa yang ingin kami unggah untuk memberitahu teman-teman terdekat bahwa RHD juga memiliki kegiatan yang dapat diikuti secara bebas. Lucunya, kami malah baru sadar ketika istilah-istilah itu menjalani viral belakangan, karena ternyata pola yang selama ini dilakukan sama persis,” ia berujar.
Beberapa buku yang tersimpan di Studio Pakaroso. Buku tersebut bebas dipinjam maupun dibaca oleh siapa pun. (FOTO: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)
Rumah Hutan Drupadi, ruang eksplorasi ide bersama
Di sisi lain, ia juga menggaet mahasiswa dan pemuda yang ingin berdiskusi tentang hal-hal di luar seni. Ternyata ada banyak orang yang awalnya tidak paham betul tentang seni membutuhkan ruang agar dirinya dapat berbagi dan mendapatkan ilmu. “Kalau saya ibaratkan, ruang ini isinya macam-macam orang dengan spesialisasi masing-masing. Ada yang hobi fotografi, melukis mural, menulis, bahkan servis elektronik, pokoknya semua ada di sini dan teman-teman tinggal pilih mau belajar dengan siapa,” katanya sambil tertawa.
Frandy Abdi Putra adalah nama yang ia maksud untuk spesialisasi yang terakhir. Pemuda asal Luwuk yang kini merantau di Jakarta dan bekerja sebagai editor video lepas ini bercerita tentang pertemuannya dengan Rio dan RHD yang dimulai pada medio 2015. Ia hanyalah pemuda yang tertarik dengan hal-hal berbau elektronik, bahkan pernah meminta rekan-rekan barunya di RHD untuk membawa barang elektronik yang rusak agar dapat diservis olehnya.
Namun, apa yang dilakukan Rio di galeri itu rupanya membantu mendorongnya untuk mengeksplorasi jenis karya yang ia sukai. Di sana, ia mulai menemukan minatnya dalam karya cukil kayu. “Cukil kayu sebenarnya bukan hal yang baru karena banyak orang di Palu yang sudah lebih dulu melakukannya. Namun, saya dan teman-teman lainnya mungkin terpacu dengan Bang Rio yang tetap berkarya apa pun situasinya. Jadi, saya putuskan untuk mengulik lebih dalam hingga saat ini,” ujar Frandy.
Rio dan Frandy berdiskusi tentang eksplorasi karya menggunakan medium kain. Para seniman di sana bebas melakukan eksplorasinya menggunakan medium apapun. (FOTO: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)
Gaung ruang ini semakin terdengar hingga ke seluruh penjuru Kota Palu. Semakin banyak warga yang berkunjung ke sana, sekadar untuk berfoto, melihat karya yang dipajang, atau belajar hal baru. Rio bahkan menceritakan pengalaman lucunya, saat ia dan temannya yang kala itu menginap di RHD dibangunkan anak-anak SMA yang berkunjung untuk melihat lukisan yang sedang dan telah selesai digarap di galerinya. “Saat itu sudah menjelang siang, namun mereka sudah datang ke rumah. Entah apakah mereka membolos atau memang sedang ada tugas dari sekolah. Kami pikir, apa boleh buat, akhirnya kami membuka galeri dan membiarkan mereka masuk,” katanya disertai tawa.
Sayangnya, usia Galeri KIRI tak terhitung lama. Konflik antara warga dan mahasiswa yang terjadi pada 2016 berujung pada vandalisme terhadap beberapa ruang, termasuk pembakaran galeri milik Rio hingga seluruh karya habis tak bersisa. Untung saja rumah utama mereka, yang letaknya terpisah, selamat. “Dari sekian banyak rumor yang beredar, saya tidak pernah benar-benar tahu alasan di balik pembakaran yang dilakukan warga bahkan sampai sekarang,” kenangnya.
Pasca kebakaran, banyak pihak yang ingin membantu Rio untuk menghidupkan kembali galerinya lewat beberapa inisiatif dan penggalangan dana. Ada juga yang ingin membantunya menempuh jalur hukum. Namun, ia dan kawan-kawannya tak pernah berusaha memprosesnya lebih lanjut. Baginya, jika pelakunya tertangkap, karya itu tetap tidak akan kembali. Rio memutuskan untuk tetap menjalankan RHD hingga benar-benar ditutup pada 2017 karena Rio dan teman-teman harus berproses kembali ke luar Sulawesi untuk menjalani kehidupan barunya.
Nasi cakalang pembuka peluang
Dua tahun berlalu, kehidupan Rio di Jakarta yang cenderung lempeng—menjalani hari-hari dengan melakukan upaya kolektif dalam berkesenian sembari membina keluarga kecilnya—kembali diguncang, kali ini oleh Covid-19. Ada pintu besar yang menghalangi praktik kolektif yang biasanya ia lakukan, yang juga memaksanya, kali ini, untuk berproses secara individual. Namun, ia tetap mencoba bersiasat dengan membuka jalan lain dan siapa sangka sebungkus nasi kuning cakalang menjadi jawaban sekaligus pembuka gerbang kolaborasi baru bersama kolektif lainnya.
Salah satu sudut ruang di Studio Pakaroso yang didominasi oleh lukisan dan gambar hasil karya siapa pun yang datang. Kadang Rio juga mengajak anaknya untuk bereksplorasi melalui lukisan. (FOTO: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)
Saat itu, ia tengah memakan nasi kuning yang ia beli di dekat rumahnya. Namun lagi-lagi, idenya yang terlampau unik membawanya kembali untuk memesan nasi dalam jumlah banyak, kemudian menjualnya dengan merek “Nakuca Semesja” yang ia buat sendiri, sembari bersepeda keliling Jakarta, menempuh hingga 40 kilometer pulang-pergi. Jika tidak habis, ia akan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. “Saya pikir, selain untuk mengamankan pendapatan, itu jadi jalan satu-satunya agar saya dapat tetap terhubung dengan kehidupan yang ada sebagai seniman. Sebagai orang yang biasa bertemu dengan orang lain, saya merasakan sekat yang besar saat itu,” ia menjelaskan situasi di kala itu.
Dari sana, kesempatan baru yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan pun datang. Upayanya berhasil menarik perhatian banyak orang yang awalnya hanya bertemu untuk membeli dagangannya. Beberapa kali ia menjalin bentuk kolaborasi baru dengan ragam komunitas dan membuatnya menjadi terhubung kembali sebagai seorang kreatif. “Beberapa kali saya dimintai tolong oleh orang yang ada dalam komunitas itu untuk membantu membuatkan beberapa karya dan saya jadi kembali terhubung dengan praktik seni yang sempat terhenti sebelumnya,” kenangnya.
Bagi Rio, Jakarta menawarkan keunikan dan kreativitas yang lebih banyak dalam mengoneksikan komunitas-komunitas yang ada. Ia saat itu hadir dengan membawa “Nakuca Semesja” yang jauh di luar karya seni yang telah dibuatnya, namun pada akhirnya itu juga yang berhasil membawanya kembali ke dalam proses pengkaryaan.
Frandy menunjukkan hasil motif yang sedang ia coba ulik melalui medium kain. (FOTO: Spektakel/Primagung Dary Rilianda)
Melalui proses yang telah ia alami, Rio merasa bahwa seni itu memang layaknya napas dan selalu ada di dalam fase kehidupan. Pandemi mengantarkannya ke dimensi yang lain, tentang upaya membangun sebuah kolektif dari situasi yang memaksanya untuk bergerak secara individualis. Baginya, selama ia bergerak dan terus menghubungkan simpul-simpul, peluang-peluang yang menjembatani kepada pengkaryaan itu akan kembali muncul. Proses beradaptasi dan menemukan kolektif baru juga menjadi kunci, yang akhirnya menolong dirinya waktu itu.
Tumbuh besar di Poso dan Palu, di mana gotong royong menjadi satu nyawa yang dikedepankan, membuat Rio merasa bahwa nilai-nilai luhur itu perlu untuk diadaptasi dalam berkesenian, baik itu dalam karakter karyanya maupun melalui pembuatan ruang kolektif seperti RHD dan Pakaroso. Ambisinya untuk dapat menghubungkan orang-orang di Palu yang memiliki minat yang sama dan membuat ruang yang lebih besar lagi memang butuh usaha lebih, namun bukan hal yang tak mungkin jika akhirnya ia telah menemukan simpul-simpulnya.