Deretan karung-karung goni itu terisi penuh pala dan cengkeh. Berjejer di sepanjang Toko Harapan Karya yang terletak di Pasar Gamalama, Ternate. Tidak seperti toko-toko rempah tetangganya, toko milik Rumen The itu tampil mencolok bak galeri. Rempah-rempah ditata mengikuti karsa sang saudagar. Biji pala dengan segala lapisan dan cengkeh dengan warnanya mengikuti jenis.
Sudah dua hari hujan tak henti mengguyur Ternate, membuat udara terasa dingin dan sejuk. Tetapi, tak lantas Pasar Gamalama menjadi sunyi. Ia tampak seperti biasa: orang-orang bertemu muka, saling menyapa, menjual dan membeli apa saja yang dijaja di sana.
Di pasar itu tidak hanya ada toko rempah. Deretan toko pakaian, sembako, dan pedagang-pedagang kaki lima juga menjajakan dagangan setiap hari. Sementara di sudut yang lain, para tukang ojek tengah menawarkan jasa; tukang parkir sibuk mengatur kendaraan. Di antara adegan-adegan kesibukan itu, ada sebuah toko yang menarik perhatian.
Kurator rempah dari Ternate
Akhirnya hujan reda. Saya, Boy, dan Dani bergegas meluncur ke Pasar Gamalama, menuju toko rempah yang sudah kami lirik sejak hari-hari sebelumnya. Toko Harapan Karya lumayan luas dan panjang. Letak bangunannya yang strategis membuat siapa saja mudah menemukannya, terlebih berkat tampilannya yang memikat.
Toko itu, seperti dulu, masih tetap menjual hasil bumi. Pala, cengkeh, kayu manis, dan cokelat tertata rapi dalam wadah-wadah karung goni. Di sudut yang lain, dibiarkan menggunung di atas dipan besar. Setibanya di sana, kami merasakan sensasi yang sama. Wangi rempah itu terlalu menyengat hingga menembus endorfin dan melena rasa bahagia. Tak sadar saya tersenyum dalam diam. Ah, terlalu memikat aroma cengkeh dan pala ini, saya membatin.
(Kiri) Rumen The di tengah kesibukannya mengelola Toko Harapan Karya. (Kanan) Pegawai Toko Harapan Karya yang sedang memilah biji Pala secara manual, menurut Ko Rumen metode ini jauh lebih efektif ketimbang menggunakan mesin yang berisiko merusak kualitas biji Pala. (Foto: Spektakel/Fadriah Syuaib).
Lalu, kami mendekat dan menyapa seorang laki-laki berusia hampir paruh baya, berperawakan sederhana dalam balutan kaos oblong dan celana pendek selutut. Ia mengenakan sandal jepit tua; langkah kakinya terlihat gesit. Sesekali melayani para petani yang datang menawarkan rempah, sesekali menyempatkan diri mengobrol santai dengan pengunjung lainnya, termasuk kami. Rumen The, orang Cina-Ternate itu, merupakan generasi kedua yang mewarisi toko mendiang ayahnya sejak 2015.
“Selamat pagi, Ko,” sapaan perjumpaan itu diiringi dengan jabatan tangan kami semua. Tak lama setelah kami membuka percakapan, Ko Rumen mulai bercerita, “Ini toko bapak saya. Semenjak ia meninggal, tidak ada yang bantu meneruskan usaha ini. Akhirnya, saya yang menjalankan.”
Sebagaimana galeri seni memiliki kurator, Rumen The adalah kurator rempah di Toko Harapan Karya. Betapa tidak, penataan rempah disajikan begitu memikat, seperti karya seni instalasi di sebuah galeri. Saya memperhatikannya dengan seksama. Di jajaran karung-karung goni itu ia menata cengkeh sesuai warna-warnanya. Ada cokelat kehitaman dan cokelat muda.
“Kalau yang cokelat kehitaman ini bibitnya dari sini (Ternate). Kalau sudah dijemur, dia jadi lebih gelap dan kering. Ini biasa dikenal dengan cengkeh Zanzibar. Kalau yang cokelat muda ini cengkeh dari hasil budidaya campuran. Kadang juga karena pengaruh tanah. Mirip dengan cengkeh Bogor,” jelasnya. Kemudian, Rumen menegaskan, cengkeh Zanzibar itu berasal dari Ternate. “Bisa jadi cengkeh Zanzibar itu bibitnya dari sini karena sama rupa,” ucapnya yakin.
Perbedaan warna cengkeh menjadi salah satu indikator asal muasal bibit serta kualitas penanaman. (Foto: Spektakel/Fadriah Syuaib)
Sementara karung-karung berisi pala ditata berdasarkan tekstur yang berbeda. Sambil menggenggam di tangan kanannya, Rumen bercerita, “Nah ini, kalau dalam istilah lokal disebut biji botak licin. Artinya, buah dengan hasil penjemurannya yang mulus dan tidak ada bekas kerut dan pecah.” Lalu, pada kepal tangan kirinya, “Sedangkan yang ini biji botak pecah, yaitu kondisi biji yang mengalami penyusutan pada permukaan sehingga saat kering mengalami pecah dan keriput.”
Dani lantas menanyakan tumpukan bagian merah ranum yang berada pada dipan rendah. Tumpukan ini membentuk gunung kecil yang wanginya terlalu memikat. “Kalau ini namanya fuli. Bagian yang paling mahal dari buah pala. Biasanya fuli ini tidak dipakai buat masak. Kandungan minyaknya itu digunakan untuk kosmetik. Bahkan sebagian kecilnya dipakai untuk campuran minuman soda, seperti Coca-Cola dan lainnya,” jelas Rumen.
Tengkulak yang gemar bercerita
Rumen The memiliki cara tersendiri dalam melayani para pelanggannya. Ia tidak sekadar menerima hasil penjualan petani, tetapi juga bertukar cerita dengan mereka. Sebagai pengunjung, saya menaruh perhatian sejak awal kedatangan. Dengan gaya yang santai dan cara yang cukup responsif, ia banyak mengurai cerita seputar rempah, termasuk bagaimana rempah-rempah itu tumbuh berdasarkan iklim, cuaca, udara, dan tanah. Mulai dari soal musim kapan rempah-rempah itu akan berlimpah, kendala pertumbuhan karena pancaroba hingga perkembangan ekosistem dan kualitas rempah. Begitu jeli dan menarik mengamati cerita-cerita Rumen hingga menggugah hati saya untuk berlama-lama mendengarkannya.
Baca Juga: Cengkeh Afo, Petani Rempah, dan Budaya Kami
Saya lantas mengungkap rasa penasaran tentang cengkeh yang biasanya dipakai untuk pembuatan rokok. Jenis cengkeh apa yang biasa dicampurkan dengan tembakau hingga akhirnya menjadi kretek. “Nah, kalau untuk membuat kretek, sebenarnya tidak terbatas jenisnya. Cengkeh apa saja bisa dipakai,” jelasnya. Tetapi, ada satu jenis rokok yang menurutnya masih menggunakan cengkeh asli dengan kadar yang banyak, yaitu rokok kretek tanpa filter.
Rumen menjelaskan bahwa rempah–yaitu pala dan cengkeh–ternyata memiliki tingkatan tertentu yang juga memengaruhi harganya. Seperti pada buah pala, disebut grade 2, 3, dan 4. “Kalau grade 3 itu seperti ini, memiliki lubang-lubang kecil karena jamur. Kalau grade 4 itu berlubang dan pecah-pecah seperti ini,” terangnya sambil menunjukkan beberapa contoh buah pala. Ia jelas paham betul kondisi rempah hanya dengan melihat bentuk luarnya saja.
Rumen juga bilang, cengkeh di Ternate dan Tidore itu sangat bagus karena kondisi dan posisi tanah yang dekat dengan laut dan tumbuhnya di dataran miring. “Coba kau lihat, di Ternate ini mana ada rempah yang tumbuh di dataran rendah. Rempah-rempah itu paling bagus kalau ada gunung berapi dan letaknya di atas permukaan laut,” ujarnya.
Tumpukan biji pala di Toko Harapan Karya. (Foto: Spektakel/Fadriah Syuaib)
Rata-rata hasil panen para petani yang dijual ke toko rempah di Ternate sudah dikeringkan. Cara pengeringannya melalui penjemuran yang memakan waktu berhari-hari hingga benar-benar kering. “Nah, untuk mengetahui pala ini sudah bagus proses pengeringannya, harus diketuk dengan cara begini,” jelas Rumen sambil mengetukkan dua biji pala yang dijepitnya dengan jari–antara telunjuk dan ibu jari kedua tangannya. Sebuah bunyi nyaring yang solid terdengar. “Ini sudah bagus. Dalamnya padat dan tidak berongga. Kalau berongga itu akibat bijinya kebanyakan jamur dan air. Seperti ini, mudah pecah dan bunyinya seperti kosong di dalam,” sambung Rumen sambil mencontohkan dengan biji pala yang lain. Menurutnya pula, biji pala akan tetap berharga meskipun hasilnya kurang bagus secara fisik. “Semua rempah dengan berbagai kondisi bisa terpakai dan terjual kalau di sini (tokonya),” imbuhnya.
Dulu, biji pala dijual dengan kondisi yang masih ada cangkangnya meskipun sudah mengalami pengeringan yang bagus. Cangkang biji pala lalu dibuka dengan menggunakan alat atau mesin. “Nama mesinnya itu trill kalau tidak salah ya... Nah, itu berfungsi untuk membuka cangkang agar terlepas dari biji secara otomatis. Tetapi, banyak pala yang rusak dan akhirnya, kalau dijual, harganya turun. Sayang to, bijinya bagus tapi rusak karena mesin,” tambahnya. Maka, sekarang ia beralih menggunakan jasa manual, mempekerjakan warga sebagai karyawan tokonya untuk menangani risiko kerusakan secara berlebihan. “Cara manual masih penting dan relatif kondusif, menurut saya,” ujarnya.
Warga yang tengah melepaskan buah cengkeh dari batangnya. Dalam bahasa setempat kegiatan ini dikenal sebagai 'cude cengkeh'. (Foto: Andri Saputra)
Buah pala dan cengkeh punya cara berbeda dalam mengimbangi cuaca. Pohon pala mengalami pembuahan dua sampai tiga kali dalam setahun. Sementara pohon cengkeh tidak demikian. Ia memiliki sensitivitas yang jauh lebih tinggi. “Cengkeh itu, kan, pohonnya sangat sensitif ya. Kadang kalau terlalu panas atau terlalu dingin, tidak mau mengeluarkan buah. Apalagi saat perubahan cuaca yang menyebabkan ada banyak virus. Seperti kemarin itu saat Covid. Nah, cengkeh itu mengalami perlambatan pembuahan. Hampir tujuh tahun, sejak 2017, baru mengeluarkan buah lagi tahun 2023,” ungkap Rumen. Dan harga cengkeh akan menurun kalau buahnya berlimpah saat panen. “Bisa sekilo itu hanya Rp54.000,” ujarnya.
Saat musim cengkeh, semua pekebun cengkeh akan mengalami keberlimpahan buah. Sebaliknya, hasil penjualannya sangat defisit. Rumen cukup prihatin dengan kondisi tersebut sebab jika terlambat dipetik, cengkeh akan mengalami pemasakan atau dalam istilah lokal disebut “polong”. “Kalau sudah jadi polong, tidak bisa dijual lagi. Petani rugi,” ucapnya.
Kerugian petani tidak saja dialami karena gagalnya panen. Sebagian besar petani cengkeh juga harus membayar sewa pemanjat cengkeh yang upah minimumnya antara 500-600 ribu per pohon. “Kasihan, kan, kalau petani itu sudah tua, lalu harga cengkehnya turun, tapi dia harus sewa orang untuk naik,” ujar Rumen penuh prihatin.
Baca Juga: Perahu Retak Jalur Rempah
Selain musim yang tidak teratur, pohon cengkeh juga sangat rentan dengan penyakit, seperti jamur dan serangga. Serangga bisa mematikan cengkeh, dimulai dari akar akibat kelembaban yang berlebihan. “Itu sebabnya pohon cengkeh tidak akan menghasilkan buah kalau kadar air yang diserap tanah melebihi kadar air yang ada di pohon itu,” terang Rumen.
Merawat pelanggan agar betah
Percakapan kami terkadang terjeda. Rumen juga menyambut beberapa petani yang datang ke tokonya. Ia melayani mereka yang mendagangkan hasil kerja keras bertahun-tahun lamanya. Rumen menakar dan menjumlahkan dengan adil. Setelah menjemput upah, wajah para pekebun itu meranum seketika. Saya membayangkan, tak lama lagi dapur akan menambun aroma tumisan ikan cakalang. Ya, di rumah-rumah para petani itu...
Melewati hampir satu jam, saya mulai mengamati bagaimana Rumen memperlakukan mereka yang betah bertransaksi dengannya. Dibantu satu karyawannya yang bertugas mencatat, Rumen punya cara tersendiri. Ia tidak sekadar mengulak rempah, tetapi mengubah narasi menjadi edukasi kepada para pelanggannya.
Pegawai Toko Harapan Karya di tengah gundukan fuli. (Foto: Andri Saputra)
Biasanya para petani akan menjual hasil bumi mereka kepada tengkulak-tengkulak yang sudah biasa mereka datangi. Seperti seorang perempuan yang diam menunggu di depan toko. Di tangannya, sebuah tas kresek berwarna merah. Tampak bulatan-bulatan biji pala timbul di permukaannya. “Ini mau jual, Ci?” tanya saya padanya. Lewat pertanyaan sederhana itu akhirnya saya berkenalan dengannya dan tahu bahwa namanya Munira.
Munira bercerita, ia selalu menjual rempahnya ke Toko Harapan Karya. Dulu, ia sering ikut mamanya kalau mau jual hasil cengkeh dan pala menjelang Lebaran. “O iyo, saya inga dulu kan saya jaga iko mama jual pala deng cengke. Kalu so babua tu, dia pe hasil yang so karing saya deng mama salalu bawa ke Harapan Karya sudah (Oh iya, saya ingat dulu, kan, saya sering ikut mama jualan pala dan cengkeh. Pokoknya, kalau hasilnya sudah kering, saya dan mama selalu bawa ke Harapan Karya),” kenangnya.
Kenangan Munira hingga sekarang masih dilakukan meskipun ibunya sudah tiada. Setiap musim rempah ia akan menjualnya di toko tersebut. Hasil yang dijual Munira biasanya ia gunakan untuk tambahan modal warung dan uang sekolah anaknya. “Ya lumayan sudah, tara dapa banya me. Kalau cuma makang hari-hari deng doi skolah anak tu ada (Ya, lumayanlah. Tidak dapat banyak sekali, tapi kalau untuk makan sehari-hari dan sekolah anak bisa),” ceritanya.
Lain Munira, lain pula Om Senen. Ia justru mengenal Toko Harapan Karya sejak Ko Peka, ayah Rumen, masih ada. “Saya jual rempah di Harapan Karya itu so lama karna dulu kan saya kanal bae dengan dia pe papa to. Jadi, kalu musim kong dapa hasil banya, ya saya ja ka atas jual di toko itu sudah (Saya jual ke Harapan Karya sudah lama sekali semenjak papanya masih ada. Jadi, kalau musim panen dapat hasil banyak, saya jual ke toko ini), ujar Senen.
Baca Juga: Fadriah Syuaib, Mengolah Ruang Kesenian Ternate Sebagai Rempah Bagi Kisah dan Resah
“Saya suka jual di sini karena Ko Penga itu suka bacarita. Dia jaga tanya-tanya keadaan pala deng cengke pe hasil. Jadi itu yang biking saya senang (Saya suka jual di sini karena Ko Peka itu suka mengobrol. Dia suka bertanya kondisi hasil pala dan cengkeh. Itu yang bikin saya senang),” kenangnya tentang Ko Penga (Yopi The), saudagar keturunan Cina yang bermigrasi ke Ternate circa 1960-an itu.
Asa seorang Cina-Ternate
Lewat cerita-cerita yang mengalir dari mulutnya itu, ternyata Rumen The tidak sedang membangun narasi persuasif hanya karena ia seorang tengkulak rempah.
Rumen punya kekhawatiran yang besar tentang masa depan rempah dan ekosistem tumbuhan endemik ini. Dalam pandangannya, edukasi pemeliharaan sektor pertanian masih belum kondusif sehingga bertani menjadi pekerjaan yang kurang menarik bagi anak muda saat ini dan kecenderungan ini terus meningkat. “Mereka sekarang kebanyakan memilih kerja di tambang. Tidak mau bertani, menanam rempah atau mewarisi kebun-kebun keluarga mereka. Kerjanya mau instan dan di tambang itu, kan, gajinya besar ya. Tapi, bagaimana nasib rempah di masa yang akan datang? Kita, kan, tidak tau sepuluh, dua puluh atau lima puluh tahun ke depan, apakah nasib rempah ini bisa bertahan atau tidak,” keluhnya prihatin.
Ungkapan Rumen menjadi pukulan bagi saya sebagai orang Ternate. Kenyataannya memang benar: sekitar 30% anak-anak muda di Maluku Utara lebih memilih bekerja di tambang daripada bertani. Bayangkan saja kalau jumlah penduduk Maluku Utara adalah 1,37 juta jiwa (berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2025 Maluku Utara), 70% atau sekitar satu juta di antaranya adalah usia produktif—maka ada sekitar 300.000 kaum muda lebih memilih menjadi pekerja tambang sebagai sumber pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara cepat. Upah mereka di tambang bisa mencapai 9-15 juta per bulan, bahkan lebih. Bandingkan dengan proses bertani yang lebih lama, hasilnya pun tidak instan.
Fuli yang diambil dari tanaman Pala, biasanya digunakan sebagai bahan baku kosmetik atau campuran minuman soda. (Foto: Andri Saputra)
Ketika ia menyinggung soal tambang, hati saya begitu tergugah. Saya jadi ingin menerjemahkan pemikiran Rumen dari sisi yang berbeda; mengapa pertanian masih menjadi fokus pikirnya saat ini? Apakah karena Rumen The seorang tengkulak? Ataukah karena ia sedang mengajak kita untuk memikirkan nasib perkebunan untuk waktu yang panjang?
Saya justru lebih melihat esensi pendapatnya. Sebab Rumen tidak sedang menciptakan opininya dari kacamata seorang pebisnis, melainkan dalam perspektif kerugian dalam makna terluasnya. Maluku Utara saat ini sedang berada dalam kehancuran ekosistem lingkungan yang masif.
Hampir menjelang siang, cuaca masih terlihat mendung. Rumen menghindar dari bidikan kamera salah satu teman saya yang sedang mengambil beberapa gambar. “Ee.. jang ngoni foto pa kita e. Kita tara suka bafoto (Eh, jangan kalian foto saya ya. Saya tidak suka difoto),” ujarnya sambil menjauhkan tubuhnya dari sorotan lensa kamera. Saya tersenyum melihat tingkah Rumen yang benar-benar tidak mau dipotret. Sambil terkekeh dengan ulahnya sendiri, ia menimpali dengan canda, “Soalnya kalu foto pa kita tu mahal (Soalnya, kalau foto sama saya itu mahal)." Ternyata, guyonan Rumen berbasis bisnis...
Susana toko mulai lengang. Kami lalu berpindah ke sisi kanan dekat kasir. Sambil melihatnya merapikan nota pembelian yang berceceran, kami mengobrol santai. Rumen lalu mengutarakan harapan yang ia bagikan sebagai keresahannya selama ini. “Saya tidak tahu, bagaimana nanti kalau rempah-rempah ini tidak dipertahankan oleh pemerintah sebagai tanaman endemik di Maluku Utara. Meskipun ya rempah-rempah itu milik warga, tapi, kan, pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan regulasi untuk melestarikan tanaman endemik. Dan kalau nanti lahan-lahan perkebunan dibabat untuk perkembangan tambang semua bagaimana?” ujarnya merenung. Ketakutannya ini merupakan refleksi panjang. Saya, Boy, dan Dani saling menatap diam.
Pada akhirnya, pertanyaan memang tidak selalu membutuhkan jawaban. Saya mengumpat sejumlah harapan baik di hati sebelum meninggalkan Harapan Karya.