Logo Spektakel

Home > Sorotan > Situs >

Saedah, Saenih, dan Penyapu Koin Indramayu

Saedah, Saenih, dan Penyapu Koin Indramayu

Pengelana jalur pantura tentu sudah tak asing dengan pemandangan sekelompok orang berjejer di pinggir jalan, menenteng sapu jerami padi dengan gagang panjang. Laki – perempuan, tua-muda, siang-malam, di ruas Jembatan Sewo, jalan Pantura Raya. Mereka ini disebut Penyapu Koin, selalu ada dan jumlahnya berlipat ganda di waktu-waktu jelang Hari Raya.

Kegiatan ini terkait langsung dengan mitologi lisan masyarakat Indramayu; Saedah dan Saenih. Dikisahkan, Saedah dan Saeni kakak-adik dari keluarga melarat akut. Ki Sarkawi, ayah mereka, berprofesi sebagai pengumpul kayu bakar. Ki Sarkawi menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal. Maimunah, ibu tiri Saedah dan Saenih.

Seperti pada umumnya cerita tentang ibu tiri di dongeng-dongeng nusantara, Maimunah sosok ibu tiri yang ga asik banget bagu Saedah dan Saenih. Selalu ada alasan buatnya untuk memarahi kedua anak tirinya. Semua dikomentari selayaknya netizen. Dan Maimunah jelas mismanagement soal mengurus Saedah dan Saenih, sehingga kedua anak itu semakin kurus. Sudah melarat akut, sakit-sakitan pula.

Para penyapu koin yang siap sedia di sepanjang jalur Jembatan Sewo, keberadaan mereka tak lepas dari mitos setempat tentang Saedah dan Saeni serta petaka yang menimpa keluarga mereka. 

Ki Sarkawi yang sering pergi ke hutan mencari kayu bakar dalam waktu lama, kemudian menyadari hal tersebut dan berniat menceraikan Maimunah. Maimunah kemudian menemui dukun untuk meneluh sang suami agar berbalik membenci anak-anaknya. Demi cinta, semua dilakukan oleh Maimunah.

Akibat teluh dukun, Ki Sarkawi malah membuang Saedah dan Saenih ke hutan. Di hutan tersebut keduanya bertemu seorang kakek yang tidak pernah mengenalkan namanya, alias misterius. Kakek misterius ini kemudian menjadikan Saenih seorang penari Ronggeng dan Saedah menjadi penabuh kendangnya. Keduanya menjadi penampil Ronggeng terkenal — kemudian menjadi kaya. Pastinya mereka tidak mengajukan proposal ke Direktorat Jenderal Kebudayaan, karena belum ada dan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan juga belum dibuat.

Yang pembaca budiman tidak sangka adalah perjanjian kakak-beradik ini dengan sang kakek misterius. Setelah kakak-beradik ini kaya, kakek misterius ini datang untuk menagih kontraprestasi atas perjanjian mereka. Saenih diubah menjadi buaya putih di Sungai Sewo. Melihat adiknya berubah wujud menjadi buaya putih Saedah langsung mengabarkan kepada orang tuanya di rumah, dan mereka pun beranjak ke Sungai Sewo.

Profesi penyapu koin dilakoni banyak masyarakat sekitar tanpa pandang gender dan juga usia. Laki-laki maupun perempuan, pemuda hingga orangtua, turut serta mencoba peruntungan mereka mencari rezeki di sepanjang jalur Jembatan Sewo.

Karena mental health Sarkawi terganggu sebab putrinya menjadi buaya putih, Ia menceburkan diri ke sungai Sewo dan berubah wujud menjadi bale kambang (balai yang mengambang). Begitu pula Maimunah turut terjun ke sungai sebagai bentuk solidaritas, kemudian menjadi pring ori (batang bambu). Kejadian tersebut disaksikan oleh Saedah dan ia pun trauma. Badan Saedah terasa lemas, Saedah menangis sejadi-jadinya dan berubah wujud menjadi sebuah pohon.

Keberadaan jelmaan Saenih - Saedah dan keluarganya sampai sekarang dipercaya oleh masyarakat Indramayu khususnya masyarakat di sekitar Sungai Sewo. Jika ada kendaraan lewat jembatan Sungai Sewo tidak melempar uang maka akan mendapatkan petaka. Menurut penuturan masyarakat sekitar, di sekitar jembatan Sungai Sewo sering terjadi kecelakaan.

Tugu Transmigran di Indramayu dibangun sebagai peringatan atas malapetaka yang menimpa rombongan transmigran dari Boyolali menuju Sumatera pada 1974. Sekitar 67 orang meninggal dunia. Rombongan ini adalah salah satu kelompok transmigran pertama yang hendak dikirim ke Sumatera, salah satu program andalan Pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, situs ini juga dikenal sebagai Makam Pionir Pembangunan Transmigrasi.

Dulu pernah rombongan sebuah bus Dwi Warna dari Boyolali yang mengangkut transmigran ke Sumatera mengalami kecelakaan dan semua penumpangnya sejumlah 67 orang, meninggal. Peristiwanya terjadi tanggal 11 Maret 1974. Di dekat situ, dibangun Tugu Transmigran untuk mengenang petaka tersebut.

Terik panas matahari tidak pernah menyurutkan niat para penyapu koin berjejer di Jembatan Sewo Kabupaten Indramayu. Mereka sigap menyapu koin demi koin yang dilemparkan pengendara yang melintasi di jembatan yang berbatasan langsung antara Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Khususnya saat Hari Raya atau libur besar, jumlah penyapu koin berlipat ganda. Konon penghasilan mereka dari “menyapu koin” bisa ratusan ribu Rupiah per harinya. Mitos ngalap berkah di Jembatan Sewo ini sudah jadi informasi umum bagi para pengelana yang sering melintasinya. Ada yang memang berharap mendapatkan kelancaran rejeki, ada yang berharap dihindarkan dari marabahaya.  

Meski penuh risiko, para penyapu koin tetap melakoni pekerjaannya. Terutama pada masa-masa high season, seperti Hari Raya Idul Fitri atau hari-hari libur besar lainnya. 

Banyak warga sekitar Jembatan Sewo menjadikan penyapu koin sebagai profesi utama. Segala resiko marabahaya yang mengintai pun tak digubris. Di saat bersamaan, kendaraan yang melintas pun secara otomatis melamban lajunya, karena ramainya penyapu koin yang menghambat laju lalu lintas.

Mungkin di semesta yang berbeda, Saedah dan Saenih sadar bila ini yang disebut sebagai common license dan crowd funding.