Logo Spektakel

Home > Sorotan > Komunitas >

Potong Telinga, Putusnya Identitas Suku Dayak

Potong Telinga, Putusnya Identitas Suku Dayak

Teks & Foto oleh: Ati Bachtiar

Potong Telinga, Putusnya Identitas Suku Dayak

Beberapa suku Dayak memiliki tradisi telinga panjang serta rajah. Pada akhir 70an, mulai terjadi pemotongan telinga panjang, akibat propaganda pemerintah kala itu. Hari ini, hanya sedikit yang tersisa.

Di sebuah desa terpencil di Kalimantan Timur, terletak satu setengah hari perjalanan sungai dari gua Muara Kaman, gua yang diperkirakan sebagai peninggalan kerajaan Hindu tertua di Nusantara, Kutai Mulawarman. Hingga tahun 1980, untuk mencapai desa itu hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai. Saat itu hampir 75% kaum wanitanya bertelinga panjang. Penduduk kampung sebagian besar hidup di pondok-pondok di ladang. Kadang hanya setahun sekali mereka pulang kampung untuk merayakan pesta panen.

Isolasi mulai terbuka saat pemerintah Orde Baru menjadikan wilayah tersebut sebagai target pemukiman transmigran. Para tenaga ahli dari Jepang serta insinyur dari Jawa mulai melakukan pemetaan dan membuat base camp di hilir desa. Beberapa perusahaan dengan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) mulai masuk di tahun 1972 dan hutan mulai dijadikan perkebunan sawit tahun 1996. Jalan logging dibuat, sehingga interaksi penduduk lintas suku mulai terjalin lebih intens. Transaksi uang Rupiah dengan harta peninggalan nenek moyang mulai terjadi dan pandangan pemuka desa tentang modernitas berubah. Stigma mulai muncul.



Pada era itulah himbauan untuk memotong telinga serta menghentikan kegiatan rajah bagi suku pedalaman mulai dikumandangkan, dengan alasan penduduk desa harus mengikuti zaman - malu menjadi masyarakat berpenampilan kuno. Propaganda ini digabungkan dengan penyuluhan program Keluarga Berencana. Peringatan untuk tidak berbahasa Dayak selama berada di kota besar pun didengungkan, identitas suku Dayak harus ditutupi demi keselamatan mereka.

Propaganda ini menjalar menjadi teror. Tersiar kabar bila seseorang berbahasa Dayak di kota itu, maka akan dirampok dan dibunuh, tutur salah seorang penduduk desa yang kala itu berusia 13 tahun. Karena takut, penduduk desa mulai melakukan pemotongan telinga, yang dilakukan oleh perawat dan manteri kesehatan puskesmas. Wanita-wanita yang ketakutan akan ancaman ini dan ingin tetap mempertahankan budaya nenek moyangnya, melarikan diri untuk bersembunyi di pondok-pondok di ladang.  

* * *

Kini di tahun 2018 akses menuju di desa itu telah terbuka lebar, sarana air PDAM dan listrik telah terlayani 24 jam. Perlengkapan rumah tangga elektronik sudah banyak dimiliki penduduk. Dari total jumlah penduduk yang hampir 4 ribu jiwa yang terdiri penduduk wanita 1.835 jiwa - hanya tersisa 7 orang saja yang bertelinga panjang. 

Menurut kesaksian Ledjie Be, Ketua Lembaga Adat Besar Wehea dari desa Bea Nehas yang lahir tahun 1958, putera dari kepala kampung Beang Teq (1967-1976) - saat beliau remaja, 70% penduduk wanita di wilayahnya bertelinga panjang, dan kini hanya tersisa 5 orang saja. Punahnya wanita bertelinga panjang di desa itu karena budaya tersebut tidak lagi dilanjutkan penerusnya.

   

Tahun 1976, Novi Balan masih berusia sekitar 5 tahun, tinggal di desa Miau Baru kecamatan Kongbeng kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Saat itu ia menyaksikan sepasang muda-mudi telinganya dibalut perban setelah pemotongan telinga yang dilakukan seorang manteri kesehatan, ayah temannya. Mengenang masa itu serasa mimpi, bagaimana perempuan Dayak beramai-ramai melakukan pemotongan telinga.

Putusnya Identitas

Suku  Luhung (40) warga desa Tepian Buah kecamatan Segah yang berasal dari suku Kenyah Umaq Jalan pernah bertelinga panjang hingga usia 10 tahun - tak ingin lagi memanjangkan telinganya. Zaman sudah berganti, sekolah pun tidak mengizinkan muridnya bertelinga panjang. Pagelam (68) merasa perlu memotong telinganya setelah berkunjung ke Samarinda menjadi tontonan banyak orang. Dikuntit anak anak kecil dan dibilang orang Dayak makan orang.

Sementara Puding dan Petelen memotong telinga karena diharuskan kepala rombongan yang akan hijrah ke Datah Bilang Ulu, kabupaten Mahakam Hulu. Mereka tak boleh berbeda, karena orang kota tak bertelinga panjang.  Anak seorang kepala suku Aoheng/Penihing di desa Tiong Bu’u Sengiru Lasing bertelinga panjang, merantau ke kota Samarinda untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun apa daya, lingkungan sosial tak bisa menerima perbedaan yang mereka miliki. Sindiran hingga cemooh yang menyangkut SARA berujung perkelahian. Akhirnya mereka menyerah untuk menutup identitas dirinya sebagai orang Dayak bertelinga panjang.

Pastor Bong (80) saat usia remaja dan masih tinggal di Apokayan - terpilih oleh misionaris Belanda untuk mengikuti seminari. Saat itulah ia memotong telinganya. Balan Laway, pria yang kini berusia 78 tahun tinggal di desa Miau Baru, saat menjadi siswa SD  kelas 1 di desa Data Dian, Apokayan, merasa malu diolok-olok temannya, kaum pendatang yang tidak bertelinga panjang. Akhirnya dari 20 orang siswa di kelasnya dipotong semua telinganya. Sementara Geliep kuh dan Uk terpaksa memotong telinganya karena putus, ketebalan cuping telinganya tak mampu menahan berat anting-antingnya.

Pada awal tahun 80, di pulau Jawa, heboh dengan berita operasi Petrus (Penembak Misterius - Red.).  Dengan dalih demi keamanan dan ketertiban masyarakat, aparat militer melakukan penembakan langsung tanpa jalur pengadilan kepada orang yang dicurigai melakukan tindakan kriminal dengan ciri tubuh berajah. Korban penembakan dibiarkan mati di tempat untuk jadi tontonan massa - sebagai shock theraphy agar jera melakukan tindakan kriminal.

Situasi tersebut turut membuat masyarakat Dayak bertambah takut untuk menunjukan identitas mereka. Teror petrus di tanah Jawa sampai ke tanah Dayak, melalui desas-desus yang semakin hari menambah ketakutan.

Penghinaan terhadap kebudayaan akibat pergeseran teknologi menimbulkan marginalisasi bagi suku pedalaman. Telinga panjang dianggap suku terbelakang. Bahkan rajah dianggap sebagai ciri kriminal di masyarakat pada kala itu. Persepsi kecantikan dan nilai telinga panjang telah berganti.

Bertelinga panjang artinya suku terbelakang yang menjadi tontonan serta cemoohan. Begitu pula rajah tradisional yang dulu dinyatakan sebagai identitas suku sebagai simbol keindahan serta status sosial, kini sudah nyaris tidak dilakukan lagi. Rajah tradisional sebagai identitas kaum perempuan Dayak sudah terhenti sejak 50 tahun yang lalu. Pemaknaan terhadap simbol dan identitasnya telah bergeser jauh.

Keindahan serta keluhuran filosofi berganti menjadi keburukan dan ancaman. Sulit membayangkan mereka harus mempertahankan identitas dan jati diri mereka ditengah ancaman sosial. Akhirnya, meninggalkan identitas warisan leluhur yang sudah berlangsung berabad-abad menjadi keniscayaan.


Tulisan ini merupakan cukilan dari buku JEJAK LANGKAH TELINGA PANJANG karya Ati Bachtiar. Bila Anda berminat untuk membeli buku ini, silahkan hubungi (WA) 081317844969 atau IG @atibachtiar serta facebook @atibachtiar.