Logo Spektakel

Home > Ini Indonesia > Komunitas >

Em He Tah!: Pembelajaran Kontekstual Melalui Pangan Lokal

Em He Tah!: Pembelajaran Kontekstual Melalui Pangan Lokal

Teks & Foto oleh: Maria Stephanie

Em He Tah!: Pembelajaran Kontekstual Melalui Pangan Lokal

“Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Familiar dengan kalimat ini? Ini adalah butir ketiga dari Sumpah Pemuda yang lahir pada tahun 1928. Ini artinya bahasa Indonesia sudah dipakai sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, hampir 100 tahun. Bagi kita yang tinggal di Indonesia Barat, terutama di Sumatra, Jawa, dan Bali, menggunakan bahasa Indonesia yang (relatif) baik dan benar sudah jadi kebiasaan sehari-hari. Mungkin, kalian sama seperti saya dulu: berasumsi bahwa saudara-saudara kita di Indonesia Timur punya level kemampuan bahasa Indonesia yang setara. Ternyata, saya salah…

Sedikit kilas balik dulu, ya. Di pertengahan tahun 2022, saya berkenalan dengan sebuah yayasan yang bernama Yayasan Mentari Menerangi Indonesia (YMMI). Yayasan ini berbasis di Jakarta, tapi berkegiatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan utama mereka adalah mendampingi dan mendukung anak-anak muda NTT yang ingin kembali ke desa, atau ingin mengabdi di desa, sebagai fasilitator bimbingan belajar (bimbel) dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran kontekstual sendiri adalah konsep belajar yang membantu guru dan pelajar untuk sama-sama bisa mengaitkan materi pelajaran yang didapatkan di sekolah formal dengan situasi dunia nyata. YMMI mengajak saya untuk berkolaborasi membuat suatu program berkaitan dengan pembelajaran kontekstual ini yang bisa dijalankan bersama para fasilitator. 

Awalnya, Ibu Joyce Heryanto, salah satu pendiri YMMI, bercerita bahwa anak-anak di TTS belajar menggunakan buku bacaan dari Jawa di sekolah formal karena harus mengikuti kurikulum nasional. Masalahnya, hal-hal yang mereka pelajari dari buku-buku itu belum tentu relevan, bahkan tidak ada di TTS. “Di salah satu buku yang mereka pakai di sekolah, misalnya, ada gambar kereta api. Padahal, di sana enggak ada kereta api,” kata Ibu Joyce. Bukannya anak-anak ini tidak boleh tahu kereta api itu apa, sih, tapi tidak ada urgensinya juga. Lagian, yang benar-benar dibutuhkan oleh anak-anak ini adalah peningkatan keterampilan literasi, karena ternyata kemampuan baca-tulis mereka jauh di bawah anak-anak Indonesia Barat yang seumuran dengan mereka. Jadi, kalau diberi bacaan yang ada contoh-contoh yang tidak bisa ditemukan di sekitar mereka, seperti kereta api itu tadi, ya mereka tidak bisa relate. Singkatnya, yang mereka baca itu tidak akan menjadi sebuah pengalaman belajar yang bermakna.  

Anak-anak menulis laporan dokumentasi pangan lokal. (Foto: Maria Stephanie.)

Berhubung saya berlatar belakang pendidikan Ilmu Pangan dan saya suka menulis, saya mengajukan ide, “Gimana kalau kita bikin program dokumentasi pangan lokal?” Ide ini berakar dari kekaguman saya terhadap kekayaan sumber pangan di NTT, berdasarkan pengamatan saya saat berkunjung ke sana untuk pertama kalinya di awal 2020. Ironisnya, masyarakat NTT sudah lama menginternalisasi stigma yang datang dari pusat, bahwa NTT adalah daerah marginal dengan tanah yang gersang dan miskin sumber pangan bergizi. Kenyataannya, ada banyak sekali tumbuhan liar dan tanaman budidaya yang secara turun temurun digunakan sebagai sumber pangan oleh warga NTT, termasuk masyarakat Atoin Meto, salah satu suku besar di Pulau Timor. Sangat disayangkan, pengetahuan tentang pangan lokal ini banyak yang tidak diteruskan kepada generasi muda akibat Revolusi Hijau yang terjadi sejak 1960-an hingga 1980-an.

Tantangan Baca Tulis

Saya membayangkan para fasilitator dan murid-murid bimbel mengumpulkan data tentang pangan lokal yang mereka konsumsi sehari-hari dan tumbuh di sekitar mereka. Pengumpulan data ini bisa dilakukan dengan cara observasi langsung, atau dengan menggali informasi dan memori dari orang tua dan nenek-kakek mereka. Kemudian, data itu ditulis rapi, dilengkapi dengan foto-foto, dan disusun menjadi sebuah buku. Harapannya, anak-anak bisa belajar bahasa Indonesia, biologi, dan matematika secara bersamaan selama proses penyusunan buku, dan bukunya bisa dipakai sebagai suplementasi buku pelajaran yang mereka dapatkan di sekolah. Ide ini disetujui oleh yayasan dan para fasilitator, dan program ini pun kami mulai di bulan September 2022. 

(Kiri ke kanan) Joyce Hartanto, penggagas YMMI. Neno dan Siska Kilala, dua fasilitator YMMI-O’of Tilun. (Foto: Maria Stephanie.)

Dalam bayangan saya, program ini eksekusinya relatif gampang. Apa sih susahnya menulis deskripsi tanaman, mulai dari warna daun, tinggi tanaman, bentuk buah, sampai jenis akarnya? Saya pun juga sudah menyiapkan template yang para fasilitator dan anak-anak bisa gunakan untuk membantu mereka menulis secara sistematis. Ternyata, bagi mereka tak semudah itu mengikuti template yang saya berikan. Di level fasilitator, sebenarnya hanya butuh latihan beberapa kali untuk bisa menulis dengan cukup lancar. Beda cerita di level anak-anak: kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar saja masih kurang. Jadi, tak heran kalau progres anak-anak ini cukup lambat di beberapa bulan pertama. 

Neno Anderias Salukh, salah satu fasilitator YMMI yang juga pendiri Komunitas Belajar O’of Tilun di Desa Oebo, Kecamatan Kuanfatu, menjelaskan hambatan bahasa yang dihadapi murid-muridnya. “Anak-anak Oebo kurang fasih berbahasa Indonesia itu karena di sini lebih banyak menggunakan bahasa Uab Meto (bahasa ibu bagi masyarakat Atoin Meto). Jadi, interaksi di sekolah menggunakan bahasa Indonesia juga minim. Mereka menggunakan bahasa Indonesia ketika ada orang luar datang dan berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa Indonesia (yang mana cukup jarang terjadi). Soal baca-tulis, gurunya kayak enggak follow up per anak. Jadi, saat gurunya udah tahu muridnya bisa baca sedikit, mereka langsung dilepas, dibiarin aja, enggak di-follow up. Sehingga cara membaca yang baik dan benar itu enggak dipahami anak itu sendiri.” 

Lalu, apakah Neno dan teman-teman fasilitator di O’of Tilun punya metode khusus untuk membantu murid-murid mereka? “Kalau dibilang metode khusus, enggak sih, Kak. Lebih tepatnya, saya menciptakan iklim belajar. Sebelum beraktivitas, saya mewajibkan anak-anak untuk berkumpul dan membaca dulu. Ada beberapa anak yang sebenarnya enggak tahu membaca, tapi karena melihat teman-temannya membaca, mereka jadi ikutan. Mereka jadi melihat dan mendengar dari teman-temannya. Saya juga memanfaatkan hobi mereka menonton film. Saya kasih film kartun yang sebenarnya mengajarkan penggabungan suku kata. Saya minta anak-anak untuk meniru suara dari filmnya. Mereka menonton, tapi tanpa sadar mereka juga lagi belajar membaca.” 

Buku Em He Tah! yang berisikan hasil aporan tertulis anak-anak binaan YMMI-O’of Tilun mengenai dokumentasi pangan lokal. (Foto: Maria Stephanie.)

Cara ini membuat anak-anak mau dan senang membaca, tanpa harus disuruh oleh para fasilitator. Di sekolah formal, membaca tidak menjadi kegiatan yang menyenangkan, bahkan sampai ada murid yang merasa tertekan. “Di saat anak malas, gurunya akan mengancam pukul, bahkan akhirnya anak itu dipukul juga,” tambah Neno. Dengan menciptakan iklim belajar yang menyenangkan dan minim stres, perlahan-lahan anak-anak yang ikut bimbel di O’of Tilun bisa membaca buku dengan lebih lancar, bahkan saat menghadiri sekolah formal. 

Siska Kilala, fasilitator YMMI-O’of Tilun yang lain, punya pendekatan yang berbeda ketika harus menyiasati metode belajar baca-tulis anak-anak, “Beberapa anak pernah sampai mogok menulis, Kak. Mereka bingung cara mengekspresikan sesuatu dalam bahasa Indonesia baku, karena keterbatasan kosakata. Akhirnya, saya minta mereka untuk menulis dalam bahasa Uab Meto dulu, Kak. Lalu, saya minta Neno cari padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Setelah diterjemahkan, kata-kata ini saya ajarkan ke anak-anak, jadi mereka belajar kosakata baru,” ungkap Siska. Setelah melewati proses pembelajaran tersebut, anak-anak pun jadi bersemangat menulis lagi, dan bisa menyelesaikan tugas menulis mereka. 

Neno dan anak-anak binaan YMMI-O’of Tilun. (Foto: Maria Stephanie.)

Sekali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui

Selama kurang lebih setahun, kami mengumpulkan tulisan tentang 10 tanaman pangan yang ada di TTS, beserta 5 resep makanan dan minuman menggunakan tanaman-tanaman tersebut. Bagi saya dan mungkin bagi orang lain yang juga hobi menulis, ini bukan jumlah yang banyak. Untuk proyek perdana ini, kami memang tidak menargetkan jumlah tulisan yang banyak. Bagi kami, yang terpenting adalah para fasilitator dan anak-anak belajar dari proses dan berprogres. Kumpulan tulisan ini menjadi sebuah buku sederhana yang kami beri judul Em He Tah!, ungkapan dalam bahasa Uab Meto yang berarti ‘mari kita makan!’ Buku yang terbit Desember 2023 ini dijual untuk umum dengan skema Buy-One Give-One. Tiap pembelian satu buku, YMMI memberikan satu buku untuk fasilitator dan murid yang tergabung dalam kelompok-kelompok belajar yang mereka dampingi. 

Saya sempat merasa khawatir, jangan-jangan anak-anak merasa terpaksa diberi tugas menulis ini. Kata Neno, “Kelihatannya mereka senang, kok.” Fiuh, lega juga. Makin lega lagi saat tahu mereka dan para fasilitator bangga dengan buku yang mereka kerjakan bersama ini. Saking senangnya, setelah buku terbit mereka langsung meminta saya untuk lanjut menyusun buku kedua. Nah, ini akan jadi cerita untuk artikel selanjutnya, ya!